Selembar di Hari Minggu
Pukul
07.00 tepat. Saat kulihat layar handphone-ku yang bergetar karena telah
menyetting alarm tadi malam. Aku sengaja memajukan waktu bangunku karena hari
ini hari minggu dan semalam aku tidur terlalu larut setelah menyaksikan tim
bola favoritku bertanding meski hanya dari balik layar kaca. Aku hanya menekan
tombol ‘snooze’ di handpone-ku lalu merapatkan
kembali kepalaku ke bantal dan melanjutkan mimpiku yang sudah setengah
perjalanan menuju utopia. Mumpung libur, kan.
Pikirku.
Saat
akan memasuki pintu menuju dunia mimpi, tiba-tiba layar handphoe-ku kembali
menyala dalam gelapnya kamarku dibarengi dengan suara yang menandakan ada pesan
baru yang baru saja mendarat. Berharap itu dari sang pujaan hati yang
memberikan ucapan selamat pagi. Meski aku tak berniat akan segera membalas
pesan singkatnya walau benar dari dia. Terus terang aku masih sangat mengantuk.
Dalam
hati berpikir itu pasti dia namun masih tetap lebih besar rasa penasaranku
untuk tahu apa isi pesan singkatnya pagi ini.
Oh,
shit! Kataku spontan saat membaca pesan singkat yang baru
saja masuk. Bukan dari sang pujaan hati ataupun dari mbah togel yang nyasar
memberikan bocoran angka togel melainkan pesan singkat dari ketua tingkat yang
memberikan informasi yang membuatku semakin ingin menebalkan selimutku.
Maaf kanda, hari ini kita ada kuliah dadakan. Pak Ahsan mau masuk jam 8 pagi ini karena beliau sibuk saat jadwalnya lusa. Terima kasih :-)
Aku
ingin mengabaikan pesan itu dan melanjutkan mimpiku. Persetan. Ini hari libur,
jadi untuk apa aku masuk sementara hari ini memang tidak ada jadwal,
seharusnya.
Tapi,
setelah flashback
di tempat tidur, ternyata aku sudah dua kali tidak hadir di mata kuliah dosen
mengerikan yang satu ini. Itu artinya jika hari ini aku mangkir kulia lagi,
sesuai perjanjian aku harus mengulang tahun depan di mata kuliah yang sama. Ah, sial betul hari
ini. Gumamku.
Dengan
sedikit terpaksa, aku merelakan hari liburku dan memberikan amanat ke
bantal-gulingku untuk mewakili tidurku yang terunda pagi ini.
***
Tepat
pukul 08.00 aku sudah duduk di ruangan yang telah di informasikan ketua tingkat
sebelumnya. Sudah ada beberapa teman kelasku menunggu di kelas. Belum nampak
batang hidung si dosen killer dengan
kumis tebalnya yang akan memberikan celoteh pagi ini.
Terlambat
15 menit dari janjinya. Pak Ahsan datang pukul 08.15 saat kulihat jam tanganku
setibanya ia di ruangan. Ia sudah menutup pintu dengan rapat pertanda ia tak
bisa lagi diganggu saat kelasnya sedang berlangsung, oleh siapapun dan oleh
apapun. Prinsip yang keras, sekeras kepalanya yang sudah botak di bagian
belakang.
“Maaf,
saya sedikit terlambat. Tadi macet.” Kata Pak Ahsan sambil mengambil buku cetak
yang lumayan tebal dari dalam tasnya.
Seluruh
isi ruangan tak bersuara ketika Pak Ahsan sedang berbicara di depan. Tidak ada
yang berani bahkan untuk sekedar menengok ke arah selain papan tulis saja mahasiswa
harus berpikir dua kali. Saat beliau melucu lalu ada yang tertawa berlebihan, silahkan tutup pintu
dari luar adalah kalimat yang akan keluar dari mulut pria tambun ini.
“Assalamu
alaikum.”
Dari
luar terdengar suara seseorang mengucap salam sembari mendorong pintu hingga
setengah terbuka. Muncul sosok Ari, teman yang juga cukup akrab denganku.
Sialnya, ia tak diberi kesempatan untuk mengisi tempat duduk yang beberapa
masih kosong. Dengan kecewa Ari lalu menutup kembali pintu ruangan dan terlihat
dari jendela ia berjalan menuju parkiran. Mungkin hari ini adalah hari minggu
yang kurang mengenakkang bagi kami yang berada dalam ruangan. Namun, pastinya
lebih sial lagi bagi Ari dan beberapa kawan lainnya yang sudah datang ke kampus
tapi tak diijinkan mengikuti kuliah.
***
Pak
Ahsan sudah berceloteh sekitar 60 menit lamanya, dan aku baru mencatat
poin-poin penting dari ucapannya tidak sampai selembar. Beliau terlalu banyak
menceritakan tentang kisahnya semasa muda hingga kadang ia terbawa suasana dan
melupakan materi yang sedang ia bawakan.
Pukul
09.35 akhirnya Pak Ahsan menutup kuliah dengan memberi kami bekal tugas yang
harus kami selesaikan di rumah dan dikumpulkan kembali besok pagi. Para
mahasiswa mengeluh, termasuk juga aku. Tapi, inilah kewajibanku sebagai
mahasiswa. Memaksa bangun dan mandi pagi di hari libur yang dingin untuk
selembar celoteh dosen killer di hari
minggu yang sebenarnya kami memiliki hak untuk menikmati libur pagi ini. Bahkan
hingga hari senin yang sibuk datang lagi.