Berada di Dekatnya



Malam hari atau tepatnya larut malam ketika gue baru saja tiba di penginapan, gue langsung ngabarin nyokap kalau gue sudah sampai dengan selamat dan bokap menelepon nggak lama setelah itu. Bokap ngasih wejangan yang sebetulnya nggak perlu, seperti: kamu kalau baru ke tempat orang jangan lupa permisi, assalamu alaikum, kalau lagi di jalan jangan lupa berdoa biar perjalanannya lancar, dan…, kamu kalau nanti check out handuk hotel jangan masukin koper. 

Dan seluruh pesan bokap gue iyakan, gue ngangguk-ngangguk di telepon seolah gue sedang berhadapan langsung sama beliau. Gue juga jadi curiga kalau pesan terakhir bokap itu berdasarkan pengalaman pribadinya.

Setelah itu gue mengaktifkan night mode di handphone dan mencoba untuk terlelap dalam tidur.

Keesokan paginya, setelah mandi gue langsung membongkar isi koper dan memilih pakaian apa yang akan gue kenakan hari ini. Gue memilih layaknya cewek. Sebelum-sebelumnya gue kalau mau pake baju tinggal pake, nggak perlu bingung dulu seperti sekarang. Ini dipengaruhi oleh orang asing—kita sebut saja Bunga, itu.

Perjalanan dari lokasi penginapan gue ke Alun-alun kota Jogja memakan waktu sekitar 30 menit. Ini pertama kali gue ke Jogja dan sepanjang perjalanan gue mengamati sekitar dan menemukan kenyataan bahwa Jogja nggak jauh beda dengan kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia yang pernah gue datangi. Sesekali gue menatap layar handphone, memastikan bahwa gue benar akan bertemu dengan Bunga dan dia menunggu gue di sana. Gue turun dari mobil di barisan depan, lalu perlahan melambat sampai akhirnya gue berada di barisan paling belakang. Ternyata kita harus berjalan kaki cukup jauh untuk sampai ke lokasi, dan gue suka itu.

Gue terus memberitahukan posisi gue ke Bunga dengan menyebutkan bangunan-bangunan atau apa pun yang bisa jadi penanda dan menurut gue bisa dengan cepat Bunga kenali.

“Aku ada di depan gedung warna dominan merah, tinggi dan di depannya banyak tempat duduk seperti di Circle K,” kata gue lewat WhatsApp.

“Oh, iya, aku tau tempatnya. Aku segera ke sana,” balasnya dengan cepat.

“Tapi aku terus jalan. Nggak tahu ke mana.”

“Ke arah mana?”

“Nggak tahu.”

Dan percakapan kami memakan banyak jeda setelah itu.

Beberapa kali teman-teman gue berhenti untuk berfoto ketika menemukan objek yang potret-able. Tentu saja gue nggak mau ketinggalan mengabadikan diri, meski sebetulnya pikiran gue lebih banyak tertuju pada Bunga. Dan…, gue sepertinya lupa sesuatu.

“Bunga, kamu pake baju apa?” tanya gue segera.

“Baju kaos putih, celana jins abu-abu dengan tas selempang warna kuning kecil,” jawabnya nggak lama kemudian.

Setelah itu gue terus mengamati orang-orang yang berkaus putih. Setelah menemukannya, gue langsung melihat ke arah tasnya.

“Kamu pake topi sulaman?”

Gue menemukan sosok yang diinfokan Bunga tadi, tapi dengan topi bulat di kepalanya dan kamera digital di genggamannya.

“Nggak, itu bukan aku.”

“Terus kamu di mana?”

Bunga nggak menjawab.

Sampai hampir 30 menit sejak baris terakhir pesannya masuk, gue belum juga menemukannya. Gue jadi merasa kalau gue sedang dikibuli. Tapi kemudian perasaan itu lenyap saat tiba-tiba notifikasi WhatsApp gue bunyi lagi dan ada pesan dari si dia.

“Kamu udah di mana? Kok nggak ngasih kabar sih?”

Iya, si dia, bukan Bunga si orang asing itu.

Nggak pengen gue buka, tapi gue harus karena gue menghubungi Bunga lewat situ. Dan, otak gue lagi-lagi mengisyaratkan untuk berbohong.

“Iya, ini aku lagi di suatu tempat. Tadi aku masuk ke sebuah gedung, kayak museum gitu, dan aku kehilangan rombongan. Ini lagi ngehubungin yang lain.”

Setelah mengirim itu, gue menarik napas panjang-panjang.

“Kamu pake baju apa?” dari Bunga.

“Baju kaos hitam, celana jins biru, pegang hape mulu.”

Sedetik kemudian gue menyadari bahwa teman-teman gue kebanyakan juga pake baju hitam dan hampir semuanya sedang sibuk dengan gadgetnya.

Gue nggak bisa dikenali, sesal gue dalam hati. Gue jadi berpikir untuk memutar waktu lalu gue akan mengenakan bikini berwarna pink sambil menenteng papan selancar agar gue mudah dikenali. Tapi kemudian gue sadar kalau gue nggak lagi di pantai. Lagi pula kalaupun di pantai, gue ngapain pake bikini?

Lima menit kemudian, seseorang menepuk pundak gue dari belakang. Spontan gue berbalik dan sedikit kaget.

Cewek berkulit putih, badan nggak kurus nggak gemuk juga, kaus putih, jins abu-abu, tas selempang warna kuning kecil, nggak pake topi sulaman dan nggak menggenggam kamera.

“Bunga?” gue spontan. Gue nggak tau ekspresi muka gue saat itu seperti apa. Yang pasti, hampir semua mata teman-teman gue tertuju ke gue.

“Firman, kan?” tanya dia.

Dia sudah menepuk pundak gue, dan dia tersenyum ke gue, tapi masih memastikan kalo ini beneran gue atau bukan? APA-APAAN INI?!!

“Kamu tau dari mana kalo ini Firman?” tanya gue. Senyumnya masih merekah. 

Seandainya ini adalah FTV, mungkin sudah ada backsound lagu romantis yang terputar lalu sebentar lagi iklan. YA ELAH.

“Simpel aja,” kata dia enteng. Sementara gue masih terpesona melihat kecantikannya. Gue jadi nggak yakin kalo dia masih jomlo.

“Simpel?” gue bertanya lagi karena mulutnya menggantung kalimatnya sendiri.

“Hanya kamu satu-satunya yang mandangin hape dan nggak berhenti melirik ke sana kemari seperti orang kebingungan.”

Gue nggak berkata apa-apa dan mulut gue hanya membentuk O yang betul-betul bulat. Tapi, apa iya semudah itu? Tapi kemudian gue ingat, gue kan punya foto di WhatsApp yang dia jadikan referensi. Gue bego banget.

Kami berjalan bersama rombongan, menuju ke sekitaran alun-alun untuk menikmati pagi yang sudah mulai beranjak, tentu saja sambil sesekali berfoto mengabadikan momen yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup, karena setelah lulus nanti, keluarga ini jelas nggak akan pernah sama lagi.

“Hai,” sapa gue setelah berjalan hampir setengah jam sama Bunga.

“Hai?”

“Iya, dari tadi aku belum nyapa sama sekali.”

“Oh, hai juga kalau gitu.”

“Gimana?”

“Apanya?”

“Kakinya, keram nggak?”

“Oh, nggak. Aku suka jalan. Sehat.”

“Oh, ya?”

Yes.”

Dan kami tertawa kecil sambil terus menyusuri jalan-jalan kecil di tengah kota Jogja. Tapi gue nggak tau sebetulnya ini beneran berlokasi di tengah kota atau bukan. Yang jelas, gue nggak tahu perasaan ini hanya rasa penasaran atau bukan, tapi yang lebih jelas lagi, gue merasa nyaman berada di dekatnya.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.