Nostalgia Game Masa Sekolah


SMP adalah masa perkenalan saya dengan komputer pertama kali.

Saya masih ingat betul, di ruangan lab komputer sekolah berukuran 9 x 8 meter, terdapat kurang dari sepuluh buah komputer lengkap dengan CPU, mouse, dan printilan lainnya yang hampir semuanya berwarna putih. Teman-teman saya sudah meninggalkan ruangan karena tugas memindahkan beberapa paragraf dari buku cetak ke dalam Microsoft Word sudah beres, sementara saya masih serius mengutak-atik hal lain di komputer berlayar cembung itu.

Saya belajar “menghidupkan” sebuah gambar di desktop menggunakan sebuah disket milik Pak Mustakim, guru TIK yang sadar bahwa mengetik sudah terlalu mudah buat saya. Pak Mustakim sudah tau kalau saya punya ketertarikan lebih banyak pada komputer dibanding teman sekelas saya lainnya. Jadi, pada tiap pertemuan ketika teman-teman saya hanya diberi tugas mengetik dan mempelajari fungsi-fungsi Microsoft Office, saya mempelajari materi yang beberapa tingkat di atasnya.

Suatu Sabtu pada jam istirahat kelas, saya iseng memasuki lab komputer yang kebetulan pintunya terbuka setengah waktu saya lihat dari jauh. Begitu masuk, terlihat Pak Mustakim sedang serius memandangi layar monitor di meja paling belakang. Saya sempat menaruh curiga, tetapi ia hanya sepersekian detik menoleh ke arah pintu seperti memastikan orang yang datang bukan sebuah ancaman—lalu lanjut menatap layar dengan serius. Saya mendekat, ia makin serius saja.

“Lagi apa, Pak?” tanya saya. Dia tidak menjawab, jadi saya menyejajarkan badan dengannya hingga terlihat belasan hingga puluhan kartu remi di layar. Belakangan saya tau nama game-nya Solitaire.

Saya belum pernah melihat permainan itu. “Game itu candu, sebaiknya jangan main terlalu dini.” Begitu kata Pak Mustakim soal game.

Ia masih terpaku menatap layar, memindahkan kartu satu demi satu, dari kiri ke kanan, dari baris depan ke baris paling belakang, klik undo karena salah langkah, lalu … “Ah, salah!” Pak Mustakim kalah. “Kan bisa diulang, Pak?” kata saya. Ia menjawab bisa, tetapi akan makan waktu lebih lama lagi.

Saya dan Pak Mustakim sama-sama tau, baik siswa ataupun guru sama-sama dilarang untuk main game di komputer sekolah. Namun, kami sama-sama tak punya komputer di rumah, jadi main game hanya bisa kami lakukan di sekolah. Pilihan lainnya adalah di warnet, tetapi harus bayar dengan waktu yang sangat terbatas. Maksud saya.. uang. Waktu adalah uang, kan?

“Kalau sekolah melarang kita main game di komputer sekolah, mestinya komputer ini jangan dipasangin game,” kata Pak Mustakim. Jadi sejak saat itu kami sepakat untuk diam-diam main game di sekolah. Katanya, dia sering datang ke sekolah hari Minggu hanya untuk memuaskan diri main game. “Ada game yang lebih seru dari ini, tapi saya lebih suka yang kitanya disuruh mikir,” kata Pak Mustakim lagi. Saya sangat ingin datang ke sekolah pada hari Minggu seperti Pak Mustakim, tetapi saya tidak pernah punya alasan logis yang bisa saya pakai untuk mengelabui orang tua. Namun, saya senang mengenal Pak Mustakim, terutama pada momen ketika ia menyadari ketertarikan saya pada komputer.

Kejadian ini sudah berlalu hampir dua puluh tahun, tetapi ketika mengingatnya kembali saya selalu teringat akan tiga hal: 1) betapa menyenangkannya masa itu, di mana komputer dan internet menjadi barang mewah dengan segala keterbatasannya, 2) betapa mengerikannya masa sekarang, di mana komputer dan internet maju begitu pesat dengan segala ketidakterbatasannya, dan 3) senyum Pak Mustakim yang begitu sengak dan wajah yang selalu terangkat tiap ketemu siswa di lorong sekolah.

Dan, saya udah lama banget enggak main game-game yang pernah saya mainin zaman sekolah bersama Pak Mustakim, sampai akhirnya … saya ketemu solitaire.org yang ternyata berisi game-game yang jadi bikin saya nostalgia masa sekolah.




Meski nama website-nya spesifik menggunakan nama satu game, di solitaire.org ini saya juga bisa menemukan banyak game yang bikin saya flashback ke masa-masa sekolah dulu, ketika komputer masih langka dan internet masih lemot kayak keong lagi mager. Dan, surprisingly, ada game seru yang diperkenalkan oleh Pak Mustakim dulu.

Dan, yap, itu adalah game sejuta pegawai: Zuma.



Saya cukup yakin kalau kamu pasti sangat familiar dengan Solitaire dan Zuma, tetapi di website yang baru saja saya temukan ini ternyata enggak cuman ada itu. Ada juga Minesweeper yang dari dulu sampai sekarang saya enggak pernah menang mainnya, satu kali pun; ada Sudoku yang kayaknya semua orang di muka bumi pernah main paling enggak sekali seumur hidup; dan tentu saja ada Tetris yang … siapa sih yang gak tau Tetris?

Dan mumpung sekarang lagi hari libur, jadi saya sedang menghabiskan waktu buat mencoba game-game di sini satu per satu. Hitung-hitung nostalgia game masa sekolah yang menyenangkan!

Oh, dan semisal kamu lupa cara mainnya (karena mungkin udah lama banget enggak main), di paling bawah tiap game yang kamu pilih ada cara main beserta tips biar cepet menangnya.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.