Jogja Ketika Itu
Rumah Sejuta Martabak
Makassar City, South Sulawesi, Indonesia
![]() |
PHOTO: StockSnap on Pixabay |
Tiba-tiba
saja gue pengin curhat di sini.
Gue
baru aja pulang dari acara nonton bareng film Keluarga Tak Kasat Mata bersama
Kaskuser di Makassar. Ini kali pertama gue ikut acara bareng mereka, biasanya
gue ikut acara Kaskus sama Kaskuser Jogja.
Sehabis
nonton, gue langsung kangen Jogja. Keluarga Tak Kasat Mata adalah film yang diangkat
dari kisah nyata yang dialami Kaskuser Semarang yang kerja di Jogja. Gue jadi
semakin merindukan Jogja karena hampir semua tempat yang ditampilkan sepanjang
film sudah pernah gue datangi. Ada kenangan tak terlupakan di sana yang memaksa
gue harus meneteskan air mata saat perjalanan pulang.
Bangsat
memang, tapi itulah kenyataannya.
Dipicu
rekaman ulang di otak dan The Scientist dari Coldplay, gue akhirnya nggak bisa
menahan air mata.
Gue
masih ingat banget hari di mana gue akhirnya meninggalkan Makassar menuju
Jogja. Siang itu gue pake kaos oblong warna putih, celana jins hitam dan sepatu
warna hitam abu-abu merek Airwalk, berjalan dengan penuh harapan menuju gate dengan satu tas punggung dan satu
tas jinjing karena koper masih mahal.
Gue
naik pesawat Garuda Indonesia dan duduk di belakang sayap dan di dekat jendela.
Kursi tengah kosong dan di sebelahnya duduk seorang laki-laki yang hampir
seumuran dengan gue. Karena, you know,
gue susah banget memulai percakapan dengan orang asing, gue pun diam aja bahkan
ketika gue tau dia salah pasang sabuk pengaman pake kabel earphone.
Barulah
setelah take off dan mata kami
beberapa kali berpandangan, gue pun memberanikan diri membuka percakapan agar
nggak terlalu awkward mengingat
perjalanan memakan waktu cukup lama dan gue nggak mungkin buka jendela pesawat
lalu terjun seperti di iklan rokok demi menghindari ke-awkard-an.
“Mas,
mau ke Jogja juga?” tanya gue membuka percakapan.
“Mau
ke Klaten, Mas,” jawabnya.
“Oh,
asli sana, atau?”
“Iya,
asli. Mas asli Jogja?”
“Oh,
enggak. Saya dari Makassar,” jawab gue. “Saya kira Mas asli Makassar. Mirip teman
saya yang dari Makassar soalnya.”
“Saya
juga ngirainnya Mas orang Jawa. Mirip teman saya yang orang Jawa soalnya.”
Gue
ngira dia orang Makassar, dia ngira gue orang Jawa.
Sama-sama
menyadari kebodohan masing-masing, kami sama-sama memilih diam sampai pesawat
tiba di Portugal Selatan Bandara Internasional Adi Sucipto. Dan setelah pesawat
muter-muter selama kurang lebih 30 menit karena cuaca buruk, akhirnya gue pun
menginjakkan kaki di Jogja dengan perasaan lega. Gue turun dan berjalan menuju
pintu kedatangan bareng orang yang duduk di samping gue tadi. Katanya, dari
bandara, dia masih harus menempuh perjalanan beberapa jam untuk sampai ke rumah
orangtuanya.
***
Akhirnya
Jogja.
Tapi,
kenapa Jogja?
Kenapa
bukan Jakarta?
Bukan
sekali duakali gue mendapat pertanyaan itu. Tapi berkali-kali sampai akhirnya
ketika ada yang nanya lagi, gue cuma menjawab, “Udah takdirnya di sini” ke
mereka.
Hingga
akhirnya sekarang gue sendiri bertanya ke diri gue sendiri, “Kenapa Jogja? Kenapa
bukan Jakarta? Padahal dari dulu gue pengin ke Jakarta.”
Tetapi
kemudian gue sadar bahwa semesta lebih tau apa yang terbaik buat gue. Gue nggak
percaya kebetulan, dan keinginan besar untuk ke Jakarta yang malah berakhir di
Jogja sangat jelas bukanlah bagian dari kebetulan. Di Jogja, gue ditempa
seperti besi yang nantinya akan menjadi pedang. Gue adalah kepingan besi yang
kelak menjadi pedang yang akan dimiliki oleh ksatria jika beruntung, atau oleh
penjahat jika sial.
Tapi,
gue adalah pedang yang istimewa; dimiliki oleh ksatria dan penjahat dalam waktu
yang sama. Gue bisa memenangkan perang dan menjadi pecundang dalam waktu yang
bersamaan. Semesta memberikan gue pelajaran yang teramat sangat berharga. Gue tidak
lebih dari sekadar orang biasa yang tidak tau apa-apa yang ingin lebih mengerti
tentang kehidupan yang sebenarnya.
Dan
Jogja telah memberikan gue pelajaran yang berarti itu.
Semesta
menjadi sangat baik dan sangat jahat ke gue di saat bersamaan. Menghancurkan mimpi
gue dengan memberikan mimpi-mimpi baru yang keduanya sama saja. Sama-sama
mustahil untuk diwujudkan.
Gue
menjelma menjadi orang yang susah ditebak.
Jogja
ketika itu sangat baik di awal, mengkhawatirkan di perjalanan, dan di akhir
menjelma menjadi hal bangsat yang sebangsat-bangsatnya bangsat.
SANGAT
BANGSAT.
Kini
ingatan gue tentang Jogja muncul lagi dan terbagi menjadi dua. Dan keduanya
tinggal di dalam diri gue, saling melawan satu sama lain. Satu sisi ingin gue
kembali ke sana, memperbaiki kesalahan dan memulai dari minus seperti yang
sebelumnya gue lakukan. Tapi sisi gue yang satunya memberontak. Jogja bukan tempat yang baik, Jogja sudah
membunuh segala yang baik untukmu, jangan pernah coba kembali ke sana lagi
bahkan untuk sekadar melihat-lihat, atau kau akan mati dikejar penyesalan,
teriaknya.
Hingga
saat ini, kedua sisi ini masih terus beradu. Dan untuk sementara ini, gue
mengikuti pilihan yang kedua.
Buat
gue, Jogja adalah kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Jogja adalah cinta
sekaligus benci. Gue mencintai Jogja sebagaimana gue membencinya dalam satu
garis waktu. Gue dikaruniai berbagai hal indah dan kepahitan di waktu yang
sama. Semuanya. Segala hal.
Tangis
tersedih gue lahir di sana, dan tawa terbahagia gue juga terbit di sana. Itulah
Jogja ketika itu, untuk gue. Berbagai penyesalan hadir selama hari-hari gue di
Jogja, sekaligus pelajaran hidup yang bisa jadi tidak akan gue dapatkan jika
tidak dengan cara seperti ini. Pelajaran hidup yang tidak bisa dinilai dengan
apa pun, karena harus gue bayar dengan penyesalan seumur hidup.