Menikmati Perayaan Imlek di Makassar dengan Antusias
Hari
sudah malam, sementara langit masih kelam diguyur hujan tanpa henti sejak pagi.
Aku
mengenakan jas hujan di parkiran, bersiap-siap menuju rumah Koh Ferry, pemilik
toko tempatku bekerja. Hari ini semua karyawan di tokonya pulang lebih awal
dalam rangka Imlek. Aku bekerja sebagai seorang frontliner di salah satu toko ponsel miliknya, belum lama ini. Tokonya
berada di dalam mal, salah satu mal yang cukup terkenal di Makassar. Tidak usahlah
kusebutkan namanya, semua orang pasti tahu jika kubilang tempat orang-orang
sering membeli gadget kekinian.
Aku
memacu kendaraan dengan pelan dan hati-hati. Jalanan sedang basah dan licin. Teledor
sedikit, bisa-bisa aku mencium aspal karena terjatuh.
Tak
berapa lama, aku sampai di depan gerbang sebuah perumahan mewah. Letaknya tidak
jauh dari mal tempatku bekerja, juga tidak jauh dari rumahku. Hampir setiap
hari aku lewat di depan perumahan ini ketika berangkat kerja, tapi belum pernah
masuk ke dalamnya. Aku hanya sering membayangkan semewah apa kehidupan
orang-orang di dalamnya. Dari luar saja rumah-rumah di dalam perumahan elite
ini sudah terlihat sangat menjulang, besar, dan begitu mewah. Dari luar saja
suara air mancur buatan yang menghiasi halaman depan setiap rumah terlihat
begitu sedap dipandang mata. Dari luar saja pohon-pohon rindang di sepanjang
paving perumahan yang dominan berwarna putih ini begitu sejuk dan menenangkan. Aku
seperti merasakan potongan surga setiap kali lewat di depannya dan membayangkan
kehidupan di dalamnya.
Malam
ini, akhirnya aku akan masuk ke sana untuk pertama kalinya.
Sampai
di depan pintu gerbang, kulihat sudah ada beberapa orang dengan pakaian dan
atribut serba merah khas Imlek yang sedang menunggu. Mereka adalah teman-teman
kerjaku yang lain. Beberapa sudah kukenal, beberapa lainnya masih asing. Maklum,
aku baru bekerja untuk Koh Ferry sebulan lamanya.
Aku
menghampiri mereka.
“Kok
tidak masuk?” tanyaku kepada semuanya yang ada di situ. Ada sekitar enam atau
tujuh orang.
“Masih
nunggu yang lain,” kata salah seorang, yang aku kenal mukanya tapi belum tahu
namanya. Seharusnya langsung kutanyakan saja namanya setelah membalas
jawabannya dengan sebuah “Oh” yang disertai senyum. Tapi tertahan dengan alasan
yang sebenarnya tidak ada.
Tak
berapa lama setelah itu, dua motor lagi tiba. Lalu kami pun berbarengan
memasuki area perumahan menuju rumah Koh Ferry setelah meminta izin dan meninggalkan
kartu tanda pengenal di pos keamanan perumahan.
Hujan
belum berhenti ketika kami tiba di depan pintu rumah Koh Ferry, tapi sudah
tidak deras. Jas hujanku sudah kutanggalkan sejak di depan pintu gerbang tadi. Rumah
Koh Ferry terletak paling pojok, jadi aku punya kesempatan lebih banyak untuk
menatap keindahan tempat ini. Sebelum masuk, aku tidak berhenti
celingak-celinguk ke segala penjuru, melihat lebih banyak bangunan-bangunan
megah dan mewah di dalam perumahan yang mungkin tidak akan pernah bisa aku
miliki. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk bisa punya rumah semewah ini.
Sejenak
lagi-lagi aku terpaku pada keindahan perumahan ini. Karena sedang dalam
perayaan imlek, pada beberapa sisi terdapat lampion dan pernak-pernik Imlek. Terlebih,
kata Koh Ferry, sebagian besar penghuni perumahan ini adalah orang-orang
Tiongkok atau keturunan Tionghoa. Ya, termasuk koh Ferry tentu saja.
Aku
masuk ke rumah Koh Ferry bersama yang lain. Ini pertama kalinya aku menghadiri
acara perayaan tahun baru selain tahun baru Hijriyah dan Masehi, jadi aku agak kurang
mengerti dan hanya sekadar ikut serta sebagai bentuk loyalitas.
Koh
Ferry mengajak kami makan layaknya sebuah acara kondangan. Setelah itu, ia lalu
mengajak kami berkumpul di sebuah ruangan di dalam rumahnya untuk sekadar
bercerita sambil makan berbagai jenis buah-buahan dan kue keranjang yang
identik dengan perayaan Imlek. Meskipun aku sendiri tidak begitu akrab
dengannya, tapi dia sangat ramah terhadap siapa pun.
“Koh,
kenapa sih Imlek itu identik dengan lampion?” tanya seorang teman. Kalau tidak
salah ingat, namanya Niar.
Koh
Ferry menatap kami dengan senyum.
“Pertanyaan
bagus!” katanya. “Secara filosofis, nyala merah lampion itu adalah sebuah seimbol
pengharapan agar di tahun yang akan datang diwarnai dengan keberuntungan, rezeki,
dan tentunya kebahagiaan,” jelasnya.
Kami
semua hanya mengangguk, lalu Koh Ferry melanjutkan ceritanya.
“Ada
juga yang percaya legenda tentang lampion ini. Katanya dulunya digunakan untuk
mengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa bernama
Nian. Ingat ya, Nian, bukan Niar.”
Aku
tertawa sangat keras, lalu teman-teman yang lain mengikuti.
Tiba-tiba
saja aku menyukai sosok bos bermata sipit dan murah senyum yang jarang terlihat
di jam kerja ini.
Kalau
kalian penasaran dengan sosok Koh Ferry, ia adalah laki-laki keturunan Tionghoa
yang meneruskan bisnis elektonik milik keluarganya. Usianya kuperkirakan
sekitar 30 atau 32 tahun, entahlah. Aku segan menanyakannya langsung. Tetapi,
ia sudah beristri dan punya dua anak yang masih kecil. Perbedaan usianya
denganku cukup jauh, 10 tahun lebih, tetapi ia tahu lebih banyak tentang segala
hal yang kami bahas dalam percakapan malam ini.
Kulihat
arloji di tangan, sudah cukup malam. Aku pun bersiap-siap untuk pulang.
“Bagaimana,
sudah siap semuanya?” kata Koh Ferry tiba-tiba setelah percakapan sempat hening
beberapa saat.
“HAH?!”
Beberapa
orang termasuk aku saling bertanya-tanya.
Alif,
salah seorang yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan Koh Ferry kemudian
menjelaskan.
“Setelah
ini Koh Ferry akan bagi-bagi angpau, lalu kita akan diajak keliling ke tempat
perayaan Imlek alias Cap Go Meh yang setiap tahun didatanginya,” jelas Alif.
“Di
mana itu?” tanyaku.
“Biasanya
di Jalan Sangir atau Jalan Sulawesi,” jawab Alif. “Tapi entahlah, Koh Ferry
juga belum meberitahu saya.”
Beberapa
saat kemudian Koh Ferry mengajak kami keluar menuju mobil yang sudah disiapkan.
Benar
saja, Koh Ferry mengajak kami ke jalan Sulawesi untuk menyaksikan perayaan Cap
Go Meh. Ada tiga mobil yang sudah disiapkan, dua disopiri oleh sopir pribadi Koh
Ferry, dan sisanya dibawa sendiri olehnya. Aku sendiri berada di dalam mobil
yang dibawa Koh Ferry, bersama dengan Alif.
Ketika
memasuki area acara, dari kejauhan suara gong dan Barongsai sudah terdengar,
dan lampion serta atribut berwarna merah dengan aksara Tionghoa sudah menghiasi
seluruh jalan. Mobil kami diparkir agak jauh karena jalan sudah ditutup sejak
sore. Rupanya, ada banyak sekali jenis acara perayaan malam ini. Setidaknya ada
empat yang diceritakan oleh Koh Ferry.
Malam Satu Hati
Begitu
Koh Ferry menyebutnya. Malam Satu Hati semacam malam ramah tamah perayaan Imlek
yang menghadirkan beragam pertunjukan seni dan budaya khas Tionghoa. Kata Ferry,
perayaan ini biasanya diadakan oleh komunitas dan didukung penuh oleh para
etnis Tionghoa.
Dialog Kebangsaan
Dialog
Kebangsaan biasanya digelar oleh Himpunan Indonesia-Tionghoa setempat.
Bai Nian
Bai
Nian adalah semacam acara silaturahmi warga atau yang orang modern sebut dengan
open house setelah Imlek. Bai Nian bisa diadakan sendiri-sendiri di kediaman
masing-masing, atau bisa juga diadakan secara serentak di tempat tertentu yang
sudah disepakati bersama.
Cap Go Meh
Yang
terakhir tentu saja perayaan Cap Go Meh itu sendiri. Di Makassar sendiri
dikenal dengan sebutan Jappa Jokka yang dilangsungkan pada malam 15 Imlek
penanggalan Tionghoa dan diadakan sebagai malam penutup acara Imlek di
sepanjang Jalan Sulawesi.
Aku,
Alif, Koh Ferry dan beberapa teman lainnya menghabiskan waktu semalam penuh
menyaksikan dan membahas tentang perayaan Imlek. Lalu, tiba-tiba aku sadar
kalau esok masih hari kerja.
“Lif,
saya mau pamit pulang duluan, boleh? Saya takut kesiangan dan terlambat masuk
kerja.”
Alif
hanya menertawaiku.
Setelah
itu, kulihat ia membisikkan sesuatu pada Koh Ferry. Lalu Koh Ferry tersenyum ke
arahku.
“Tenang
saja, besok libur!” seru Koh Ferry. “Plus
dapat bonus angpau dari saya,” lanjutnya.
Aku
tertawa keras. Alif, Koh Ferry dan beberapa teman lainnya kemudian mengikutiku.
Setelah itu kami kembali menikmati malam perayaan Imlek di Makassar dengan
antusias.