Gue dan Jamal
Ahmad
Jamal Palepi.
Jamal
adalah teman gue semasa kecil. Gue dan Jamal sama seperti Dudung dan Maman di
lagu The Changchutters. Gue dan Jamal sama seperti Batman dan Robin. Dan kadang
juga, Gue dan Jamal seperti tokoh Tom dan Jerry di serial kartun Tom &
Jerry.
Jamal
tadinya adalah seseorang yang biasa-biasa saja. Nyaris tidak ada yang mengenal
Jamal selain keluarga dan teman-temannya sendiri. Ya, namanya juga orang
kampung yang jarang menginjak kota. Jarak ke kota dari rumah Jamal bisa
menghabiskan waktu seharian penuh, dengan kondisi jalan yang memprihatinkan.
Pernah
sekali gue dan Jamal jalan-jalan ke kota, karena penasaran seperti apa sebenarnya
kehidupan di kota itu. Katanya kehidupan di kota itu enak dan semuanya serba
mudah didapatkan. Semuanya. Itu kata Jamal setelah menonton acara keluarga di
televisi suatu sore. Karena itu Jamal ingin merantau ke kota.
Eh,
ternyata saat di kota ada yang mengira Jamal adalah orang Arab.
Memang
benar, sih, muka Jamal kalau dilihat dari jauh mirip orang Arab. Kalau dilihat
dari dekat, ya, sedikit-sedikit mirip. Cuma tinggi badannya yang sedikit
membuat orang ragu kalau dia memang asli Arab.
Gue
dan Jamal hanya menghabiskan waktu beberapa jam di kota, dan pulang sebelum tengah
malam. Tapi sejak saat itu, gue dan Jamal mulai memiliki perbedaan dalam
memandang hidup.
Jamal
merasa hidup di kampung itu adalah sebuah kesalahan. Jamal pun memutuskan
berangkat ke kota, entah mau ngapain. Sementara itu gue tetap di kampung
membantu orangtua berdagang dan mengasuh adik.
Gue
dan Jamal putus komunikasi hampir setahun, sebelum akhirnya menghubungi gue dan
mengatakan kalau dirinya lolos pada sebuah audisi stand up comedy tingkat
nasional. Jamal akan masuk TV dan jadi orang terkenal. Sementara gue masih di
kampung dengan hobi baru gue yaitu menulis.
Gue
suka menulis sejak mengenal Facebook, sebuah media sosial yang katanya bisa
mempertemukan kita dengan siapa saja yang juga mempunyai akun Facebook.
“Wah,
selamat ya, Mal! Standup comedy itu apa?” tanya gue. Yang gue tau cuma “Attention,
stand up please, greetings, sit down please” yang gue hafalin saat jadi ketua
kelas waktu SMP. Kadang-kadang malah gue bolos saat pelajaran Bahasa Inggris.
Jamal
lalu menjelaskan semuanya. Gue mengangguk-angguk, kadang mengerti kadang tidak.
Kadang mengangguk walau tidak mengerti. Intinya, gue senang Jamal akhirnya bisa
berhasil di perantauannya. Tidak banyak orang yang bisa berhasil saat merantau.
Kemudian,
gue melihat Jamal masuk TV. Bercerita di atas panggung, dan ditertawakan
orang-orang. Semakin banyak orang yang tertawa, Jamal semakin semangat dan dia
semakin terkenal. Aneh, gue pernah ditertawakan orang sekampung waktu tali
sandal gue putus di tengah lapangan saat acara tujuh belasan, tapi tidak pernah
diundang ke acara televisi. Mungkin karena gue tidak ikut audisi kali ya.
Setahun
dua tahun di dunia standup comedy, sepertinya Jamal belum puas. Ia lalu menulis
buku, kalau tidak salah judulnya “Tak Jamal Maka Ya Qashar”, entahlah, gue
lupa. Gue antusias sekali saat tau Jamal menerbitkan buku, tapi kecewa saat
membacanya. Catatan-catatan yang gue tulis di Facebook bahkan lebih bagus dari
tulisan Jamal yang diterbitkan jadi buku. Tapi gue mengerti, Jamal sudah
terkenal. Sebagus apa pun tulisan gue tidak akan membuat buku gue laku di
pasaran karena tidak ada yang mengenal gue. Sejelek apa pun buku Jamal tetap
akan laris, laku keras dan menghasilkan banyak rupiah untuk menghidupi
orang-orang yang bekerja di penerbitan. Dan yang paling penting agar penerbit
itu sendiri tetap ada. Gue paham semua itu lebih dari Jamal memahami
kekurangannya.
Jamal
sedang berada di puncak karirnya.
Tidak
lama setelah menerbitkan buku, Jamal kemudian bermain film bersama teman-teman
komediannya. Dia mulai berkeliling Indonesia, semakin terkenal dan semakin
banyak rupiah dikantonginya. Sementara gue masih di kampung, dan baru saja
mengenal media sosial baru bernama Twitter.
Rupanya
Jamal sudah punya Twitter dengan pengikut yang luar biasa banyak. Hampir setengah
juta. Gue pun mengikutinya dan memperhatikan kesehariannya. Siapa tau, dengan
menirunya gue bisa juga berhasil seperti dia suatu hari nanti.
Ternyata,
Jamal sekarang sering main film di YouTube. Keren sekali Jamal ini. Gue pun
belajar gaul dari Jamal. Pokoknya gue belajar banyak dari Jamal agar tidak
terlihat kampungan meskipun tinggal di kampung.
Jamal
berada di puncak karirnya bertahun-tahun, sebelum akhirnya, sepertinya Jamal
kehabisan ide, dan membuat kesalahan fatal yang membuat gue berpikir sebaiknya minta
Jamal buat pulang kampung saja.
Jamal
membuat video prank di YouTube yang menimbulkan reaksi negatif para pengikutnya
di Twitter. Jamal sempat membela diri sebelum akhirnya mengakui kesalahannya. Ya
iyalah, gue juga akan marah kalau adik perempuan gue ditanya ukuran dalamannya
berapa di depan umum dan diunggah ke situs yang bisa ditonton seluruh dunia.
Setelah
Jamal meminta maaf, dunia maya kembali seperti biasa. Tapi sepertinya tidak untuk
Jamal. Saat gue sudah malas mengikuti kesehariannya, tiba-tiba gue mendengar
berita kalau Jamal mengeluarkan statement bahwa salah satu pemain Timnas
Indonesia tidak guna dan sebaiknya diganti dengan pemain lain saja. Gue bahkan
tidak tau kalau Jamal suka bola. Waktu masih di kampung Jamal lebih sering jadi
tukang pungut bola daripada ikut bermain, bisa-bisanya Jamal mengatakan kalau
pemain yang pernah jadi pencetak gol terbanyak di liga Indonesia itu tidak
berguna.
Setelah
itu Jamal meminta maaf lagi, seperti biasa. Tapi orang sudah telanjur mati rasa
dengan Jamal.
Tidak
lama setelah itu, timbul lagi perkara baru yang membuat Jamal semakin dibenci
oleh orang-orang yang dulu menyukainya.
Semuanya
berawal dari sepatu mahal yang Jamal jadikan lagu. Saking mahalnya sepatu itu,
ayah bisa menggunakannya untuk membuka usaha baru di kampung. Lalu, ada yang
bilang kalau konten di channel YouTube Jamal sekarang menurun. Entah konten mana yang orang tersebut maksud,
tapi Jamal membalas dengan jawaban yang membuat orang-orang berpikir seperti
Jamal sedang tidak enak badan.
“Konten
gue kualitasnya menurun? Itu menurut lo aja, buktinya sekarang gue bisa nonton
Coldplay, dulu enggak.”
Gara-gara
itu, gue langsung menelepon Jamal lewat LINE menggunakan jaringan wi-fi kafe
yang baru-baru ini buka di kampung. Iya, di kampung gue sekarang baru ada
wi-fi.
“Mal,
kualitas konten lo bagus atau enggak, bukan elo yang nentuin. Tapi orang-orang
yang menonton konten yang lo bikin,” kata gue. “Soal viewers yang ratusan ribu
dan dollar yang lo dapat dari sana, sama sekali nggak ada hubungannya dengan
kualitas konten lo.”
“Tapi
banyak yang suka sama konten gue! Nggak mungkin kualitasnya menurun kalo kayak
gitu!” Jamal ngeles.
Sampai
di sini gue sedikit bingung bagaimana cara menyadarkan Jamal kalau ini bukan
soal bagus atau jeleknya konten yang dibuatnya. Tapi soal bagaimana
menanggapinya.
Sepertinya
memang Jamal sedang tidak enak badan.
Gue
jadi ingat Mas Pantji soal caranya menyikapi kritik. Sempat ada yang bilang
sekarang Pantji garing, tidak lucu lagi seperti dulu. Tapi dia membalas selayaknya
orang dewasa, padahal dia bisa saja bilang, “Gue habis bikin world tour, semua
tiket terjual habis, dan nggak ada satu pun yang bilang nggak lucu kecuali lo
yang cuma nonton lewat timeline Twitter”, lalu ngeblok orang itu.
“Mal,
sebagai orang besar dan terkenal, lo harus bisa menerima kritik dari penikmat
konten lo. Kalau dikritik, tanyain ke diri lo mana yang kurang. Kalau dipuji,
jangan sombong. Seringkali mereka melakukan itu hanya agar twit mereka di-RT
oleh akun centang biru yang sekarang lo punya.”
“Kata
siapa gue sombong? Gue cuma nggak terima harga diri gue diin…”
Putus.
Percakapan
gue dengan Jamal terputus akibat mati lampu, sementara Jamal masih saja
menanggapi kritikan dengan jawaban yang tidak masuk akal. Kini gue dan Jamal
tidak lagi saling kenal, di saat dia sudah terkenal.