31

Rumah Sejuta Martabak Yogyakarta City, Indonesia



Aku duduk di lantai dua sebuah kafe yang tidak terlalu bagus, tapi tidak juga dibilang jelek. Menunya tidak mahal, tapi tidak juga murah. Kecepatan internetnya cukup stabil, dan bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan yang membutuhkan koneksi internet standar.

Karena itulah aku ke sini. Dan sebenarnya, aku sudah sering ke sini.

Mungkin sederhana adalah kata yang paling cocok untuk menggambarkan kafe ini. Saat aku baru datang, sepertinya aku adalah pengunjung pertama hari ini. Aku melihat jam, pagi baru saja berganti siang, dan itu adalah jam di mana kafe ini baru buka.

Aku duduk menghadap ke luar, ke jalan raya yang tidak hentinya dilalui kendaraan dan pejalan kaki. Jalan raya sepertinya adalah satu-satunya tempat yang tidak akan pernah kosong di bumi. Meski kadang jalanan di depanku ini sepi, tapi tidak pernah benar-benar kosong. Jika aku memandang ke luar, setidaknya ada satu atau dua kendaraan yang terlihat.

Tepat lima menit setelah aku duduk di meja paling pojok, pengunjung kedua datang dengan tas punggung sebesar lemari es dua pintu. Aku yakin isinya pasti dagangan pasar yang belum laku terjual, ia duduk di depanku. Lalu, sepersekian detik kemudian sepertinya ia merasa tidak nyaman lalu pindah ke sisi kananku. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang besar itu dan mengeluarkan sebuah Macbook tua yang aku yakin pasti adalah salah satu barang kesayangan yang pernah ia miliki.

Ia duduk dan membuka laptopnya. Aku melirik diam-diam ke layar notebook yang sebenarnya sudah lama aku impikan itu. Ia sedang membuka YouTube, situs yang belakangan banyak digandrungi para bloger sepertiku. Tadinya aku juga ingin ikut-ikutan seperti menjadi video blogger di YouTube, tapi aku berpikir belum saatnya jadi aku urungkan saja niat itu.

Kemudian aku kembali fokus pada layarku sendiri.

Entah berapa menit aku menenggalamkan fokus ke layar laptopku, tapi setelah sadar, ternyata sudah ada penugunjung ketiga dan keempat di kafe ini, di arah jam tiga lebih tepatnya.

Dua muda-mudi yang kelihatannya sedang pacaran. Belum sampai semenit aku memerhatikan mereka, tapi kemesraan mereka sudah membuatku kesal sembari menggali masa lalu dan bergumam, “aku juga pernah seperti itu!”.

Satu jam pertama berlalu, mata dan pikiranku kembali fokus ke layar laptop. Kuteguk minumanku di dalam gelas besar penuh bongkahan kecil es batu. Lalu hujan turun.

Entah kenapa, belakangan ini cuaca di kota Jogja susah ditebak; sebentar hujan deras, lalu berubah panas terik seketika.

Dinginnya cuaca yang menyapa kulitku yang hanya dilapisi kaos oblong dan celana pendek memaksaku untuk turun ke lantai satu, mencari kamar kecil. Setiap aku kemari, hujan selalu turun. Dan selalu saja aku aku lupa membawa jaket.

Di tangga, aku berpapasan dengan dengan pengunjung kelima. Perempuan berhijab yang sempat tersenyum dan memikat hatiku untuk sepersekian detik. Di bawah, ternyata sudah duduk pelanggan keenam, ketujuh, dan kedelapan.

Saat keluar dari kamar kecil, pengunjung kesembilan baru saja selesai memesan kepada pelayan lalu kuikuti dia naik ke lantai dua. Pengunjung kesembilan ini adalah laki-laki biasa yang datang sendirian, sama sepertiku. Ia memilih tempat duduk di arah jam dua, tepat di samping pengunjung ketiga dan keempat yang sepertinya sedang terjadi sesuatu yang tidak beres di antara mereka.

Pasangan yang duduk di meja nomor tiga itu sedang menahan amarah masing-masing. Mereka berbicara dengan pelan, tapi sekilas bisa kulihat ketegangan di mata dan wajah mereka. Entah kejadian apa yang sudah aku lewatkan selama kurang dari lima menit, tetapi permulaan ini sepertinya akan berakhir mengecewakan. Sempat kupikir, pengunjung kedua mengadu domba mereka saat aku turun, tapi kemudian kutepis jauh-jauh prasangka itu setelah lelaki bermata sipit itu terlalu serius menatap layar laptop kesayangannya. Persis seperti pelanggan kedua di sampingku ini.

Aku mencoba fokus kembali, tapi mataku tidak pandai mengabaikan hal-hal semacam itu.

Pengunjung kesembilan tiba-tiba berdiri, lalu menghampiri meja di sampingnya. Mataku melotot sembari menunggu dengan dua pertanyaan: siapa dia? Apa yang akan dia lakukan?

Aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan kepada pasangan itu, hujan cukup berhasil membuat kupingku menyerah pada keadaan ini. Tapi senyum di bibir pengunjung nomor sembilan setidaknya membuatku berpikir semuanya baik-baik saja. Sementara pengunjung nomor tiga dan empat itu, wajahnya hanya terlihat ramah sepersekian detik, saat lelaki biasa tadi menghampirinya.

Aku kembali fokus ke layarku.

Beberapa jam berlalu tanpa ada pengunjung lain yang datang ke lantai dua, tapi aku bisa merasakan pengunjung berganti di lantai lainnya. Pelayan naik turun membawa dan mengambil pesanan lain. Aku tetap fokus menatap laptop, sesekali mencuri pandang ke segala arah, dan menenggak minuman yang esnya sudah lama mencair.

Entah bagaimana aku menulis suara tamparan keras yang tepat mengenai tulang di pipi, tapi itulah yang aku dengar dari hasil pertengkaran pengunjung nomor tiga dan empat baru saja. Suaranya begitu jelas, persis di saat hujan tiba-tiba berhenti. Si nomor tiga meneriakkan makian dalam bahasa yang tidak aku mengerti, dan si nomor empat yang menerima tamparan itu hanya berusaha meminta maaf, menenangkan, dan menahan malu dalam satu waktu. Aku, si nomor dua, dan si nomor sembilan spontas menatap mereka. Si nomor tiga menatap ke arah kami bergantian. Entah dia ingin memastikan apa, tapi ia lalu membereskan barang-barangnya di atas meja lalu si nomor empat duduk kembali dengan perasaan yang sepertinya aku tahu pasti. Sepertinya aku pernah merasakannya juga. Sudah lupa kapan, tapi pernah.

Dan, ingat yang aku bilang tadi? Perdebatan mereka benar berakhir mengecewakan. Perempuan itu lalu meninggalkan si lelaki dengan wajah kesal lalu duduk di kursi kosong di sebelah kiriku tanpa kata. Aku langsung menyapanya dengan senyum yang sangat menenangkan.

“Hai, nomor tiga. Aku nomor satu.” Aku menyulurkan tangan, dan ia meraihnya dengan damai. “Aku juga pernah seperti itu,” lanjutku.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.