Nasib Dongeng di Era Teknologi



Jaman gue kecil, beruntunglah gue, masih bisa mendengarkan nyokap mendongeng sebelum terlelap dalam tidur meskipun gue nggak pernah tau ending setiap cerita yang didongengkan nyokap karena keburu mendengkur dengan khidmatnya. Dongeng yang paling gue suka adalah dongeng tentang Sangkuriang dan Tangkuban Perahu-nya. Bukan karena ceritanya keren banget, tapi karena nggak ada dongeng lain yang nyokap bisa ceritakan.

Dongeng atau yang orang jaman sekarang lebih suka menyebut urban legend, adalah sebuah kisah rakyat yang biasa jadi pengantar tidur anak-anak kecil. Ada beberapa anak yang nggak bisa tidur nyenyak kalo nggak didongengin dulu, salah satunya gue.


Mendengarkan dongeng sebelum tidur punya efek positif, membawa khayalan dan imajinasi anak jauh lebih tinggi dari biasanya bahkan bisa membawa keindahan cerita itu ke dalam mimpinya sebagai bunga tidur. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, nyokap-nyokap yang dulunya hobi mendongeng udah berkurang bahkan mendekati punah. Bukan karena nyokap capek setiap kali cerita, ceritanya belum selesai, dan ditinggal tidur. Tapi karena anak-anak udah lebih kepengen dengar cerita Robocop dilaser Iron Man daripada Malin Kundang yang cuma berdiam diri kayak batu. Emang jadi batu keleus.

Jika terus dibiarkan, dongeng lambat-laung hanya akan jadi mitos.

Selain pengaruh teknologi yang kebangetan yang mengubah keinginan anak dari mendengarkan dongeng ke nonton film superhero, sosial media juga mengganggu keharusan anak melebihi yang seharusnya. Dari yang seharusnya sebelum tidur dengar dongeng diganti jadi ngetwit, baca timeline, stalking calon pacar kalo gede nanti. Kalo udah gini, ya nggak mungkin Farhat Asbak kan, yang kita salahkan? Menurut gue, harus ada peran lebih dari nyokap-nyokap dan calon nyokap untuk bisa bikin anak-anak mendengar dongeng pada waktunya dan mengenal teknologi pada saatnya. Bukan semaunya.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.