Rindu dan Kemunafikan
Tentang
rasa dan harap yang tak hentinya kau berikan padaku. Aku masih merasakan
puing-puing kehangatan saat kau dekap tubuhku. Barangkali, hatiku masih
menginginkan sosokmu untuk membelaiku di saat sedih, murung, atau kecewa.
Namun, hanya sebatas hati yang saling menginginkan. Pada kenyataannya, kita
telah saling memiliki.
Sangat
menyedihkan, di saat aku
membutuhkanmu, dia yang hadir untukku. Di saat engkau membutuhkanku, bukan aku yang hadir dan memberimu kehangatan, tapi dia. Meski kita tahu kita masih saling membutuhkan, meski kita tahu kita tak mampu jika tak bersama tapi kita saling memberontak membohongi diri agar kita tetap bisa berjalan di dua arah yang berbeda meski pada akhirnya kita tetap berharap dipertemukan di persimpangan jalan.
membutuhkanmu, dia yang hadir untukku. Di saat engkau membutuhkanku, bukan aku yang hadir dan memberimu kehangatan, tapi dia. Meski kita tahu kita masih saling membutuhkan, meski kita tahu kita tak mampu jika tak bersama tapi kita saling memberontak membohongi diri agar kita tetap bisa berjalan di dua arah yang berbeda meski pada akhirnya kita tetap berharap dipertemukan di persimpangan jalan.
Aku
jujur, aku terlalu memunafikkan hatiku dengan memaksa akal sehatku menerima
bahwasanya kita memang tak ditakdirkan bersama. Namun, tidakkah dirimu ingin
tahu sedikit saja tentang keadaanku yang mungkin bahagia yang mereka lihat,
yang sebenarnya aku memakai topeng yang begitu tebal untuk menyembunyikan
kerinduanku padamu yang terus meninggi dan merintih dalam hatiku.
Tidakkah
kau ingin tahu. Aku tak pernah bisa melupakan kenangan demi kenangan yang
pernah kita lalui saat bersama dulu. Sedikit pun tidak! Dan tidakkah kau ingin
tahu, setiap tahu kau dengannya seperti apa perasaanku?
Barangkali,
kau akan berfikir aku terlalu bodoh untuk menyembunyikan rasaku terhadapmu.
Tapi, aku bisa apa! Hanya ini yang dapat ku perbuat. Aku hanya bisa merelakanmu
sebatas di mulut. Selebihnya, tidak akan pernah!
Aku akan
terlalu munafik jika harus kukatakan bahwa aku bisa melupakanmu. Mencobanya pun
aku belum, bahkan akan menjadi tidak pernah. Dan tahukah kau, jauh dalam hatiku
yang masih dan selalu akan tetap mengharapkanmu (lagi), aku percaya kau pun
begitu – alasan yang menguatkanku dan membuatku tetap percaya sampai detik ini.
Terlalu
banyak rindu yang telah ku simpan untukumu. Ku selip di setiap sudut-sudut
hatiku yang sudah hampir mati karena tak pernah kau jamah. Menanti saat itu
datang kembali, tak hentinya ku sirami dan ku jaga pohon-pohon rindu ini yang
mana telah berakar di bumi hatiku dan tumbuh tinggi hingga ke langit hatimu
yang aku tahu kau pun menyadarinya tapi berpura-pura bahagia dengannya agar kau
bisa melupakanku, pikirmu.
Tapi
tahukah kau, kita telah melakukan hal lucu yang sangat bodoh dan menjijikkan.
Membiarkan kita tetap memiliki rasa yang sama tapi memilih untuk bahagia dalam
duka kita. Jika kau harus diadili dalam pengadilan, mungkin kau akan dihukum
seumur hidup karena tak pernah bisa berhenti menghantui pikiranku sendiri
dengan wujud fanamu. Pun aku! Tapi jika bisa, aku akan berharap demikian saja
agar kelak jika hukuman telah dijatuhkan pada kita, kita akan ditempatkan pada
ruang hukuman yang sama. Selamanya!