Sekali (Lagi)
Dear
diary,
Hari
ini tepat 215 hari sejak pertemuanku yang terakhir kali dengan Mita, Asmalda
Sasmita sang mantan pujaan hati yang pernah mengisi hari-hariku. Gadis
berkacamata dengan
rambut hitam lurus bertubuh ideal yang selalu menemaniku
kemana pun dan kapan pun Aku membutuhkannya.
Sedikit tulisan yang sempat kubaca saat membuka buku
diary-ku yang sudah kusam karena terlalu lama mendekam dalam gudang tempat
penyimpanan barang rongsokan. Aku menemukannya kembali saat membersihkan gudang
untuk menggantinya dengan barang-barang lain yang baru saja menjadi sampah
antik.
Buku catatan berwarna cokelat itu masih utuh meski
sudah terlihat berdebu dan kotor. Kuletakkan di kaki pintu gudang agar setelah
selesai dengan pekerjaanku, aku bisa beristirahat sambil membaca kenanganku
untuk menghilangkan rasa bosan.
***
Apa
yang harus diceritakan?
Ceritakan
padanya tentang tegarnya kita.
tegarnya
kita tanpa hadirnya?
Ya!
Apa
harus kuceritakan juga, tentang rindu yang datang sesekali dan melemahkan kita?
Saat beristirahat dalam lelah, aku mulai tersenyum dan
mulai mengingat kenangan beberapa tahun silam saat masih bersama Mita. Ada
banyak hal yang kutuliskan dalam buku setebal kurang lebih 100 halaman ini,
tetapi hanya sedikit dari tulisannya yang dapat terbaca, selebihnya aku hanya
mengingat dan sesekali membayangkan masa-masa itu.
Indah, menggelitik, dan juga menyedihkan semuanya
bercampur dalam satu buku kecil tulisan tanganku sendiri.
Mita.
Kau memaksaku mengingat kenangan kita kembali. Huh! Keluhku dalam hati.
Menjauh!
Jangan menampakkan diri di hadapanku, jangan tersenyum seperti itu. Jangan buat
aku kembali merindukanmu karena hati telah merelakan kehilanganmu…..
Sebuah paragraf yang terpotong, bukan karena memang
sengaja terpotong tetapi kertas yang sudah saling merekat membuat tulisannya
tak bisa terbaca sehingga Aku hanya berusaha mengingatnya. Ya, aku ingat
tentang tulisan di lembaran ke-20 buku ini. Aku tidak ingat persis lanjutan
paragraf ini tapi aku ingat kenapa aku menuliskannya kedalam beberapa paragraf.
***
“Sayang, maaf ya tapi aku buru-buru. Daritadi mamahku nelfon
nyuruh pulang.” Kata Mita sesaat setelah selesai meneguk minumannya.
“Hm, eh iya nggak apa-apa kok sayang. Tapi aku antar
kamu pulang ya? Pintaku.
“Ah, nggak usah sayang soalnya nanti di depan Aku
dijemput sama Dewa kok.”
“Oh, gitu. Ya udah tapi kamu hati-hati ya sayang.”
Sore itu aku dan Mita sedang menikmati sunset di
pinggir pantai Losari, Makassar sambil menikmati es pisang ijo, makanan khas
daerah ini. Beberapa hari terakhir saat jalan bareng Mita memang sering banyak
alasan yang membuat pertemuan kami jadi semakin singkat. Setiap ingin aku antar
pulang, alasannya juga selalu sama, dijemput Dewa, adiknya.
Tentu, aku tidak menaruh curiga sedikitpun. Selama ini
memang hubungan kami baik-baik saja dan juga aku tidak pernah mendengar kabar
yang tidak mengenakkan tentangnya.
Aku masih duduk di pinggir pantai sementara Mita
perlahan mulai menjauh dari pandanganku saat kulihat dia sudah menaiki motor
yang dikendarai Dewa. Mereka mulai menghilang tertelan keramaian kota dan aku
juga bergegas untuk pulang kerumah.
Dalam perjalanan handphone-ku bergetar.
Rena,
calling!
Sahabatku sekaligus teman dekat Mita itu menelfon.
Kupikir ini cukup penting karena tidak biasanya dia menelfon, biasanya hanya
lewat pesan singkat.
“Iya kenapa Ren? Nih aku lagi di jalan, kamu telfon
bentar lagi aja ya!”
“Eh anu Ryan, kamu di jalan mana?” Rena sedikit
memaksa.
“Aku di jalan pulang, habis ketemu si Mita. Biassaa.”
“Oh, kamu yang di mobil sama Mita tadi itu?” Tanya Rena
mulai penasaran.
“Hah? Enggak aku naik motor. Mobil lagi dipake sama
bokap.” Jawabku mulai kaget.
Aku menghentikan kendaraanku segera, nyaris tertabrak
pengendara lain.
Rena menyelesaikan pembahasannya, memaksaku
mempercayainya kalau Mita punya selingkuhan. Tentu saja Aku tidak akan percaya
sebelum lihat langsung.
***
Sore yang sama minggu berikutnya, seperti biasa aku
dan Mita bertemu lagi ditempat yang sama. Dan lagi, dengan alasan yang sama.
Aku mengiyakan saja kata-katanya. Saat dia telah meninggalkan tempat makan, Aku
juga bergegas meninggalkan tempat itu. Mita tidak tahu aku pakai mobil Dion, abangnya
Rena. Aku sudah merencanakan ini bersama Rena demi membuktikan perkataannya.
Saat dia mulai hilang dari pendanganku, Aku tancap gas
dan segera mengikutinya dari belakang. Dari
jarak dekat juga Dia tidak akan tahu. Gumamku.
Tak lama, motor yang dikendarai Mita bersama Dewa
berhenti di sebuah pertigaan. Mita turun dari motor dan Dewa meninggalkannya
begitu saja. Mita berdiri di trotoar dan aku tetap memperhatikannya dari atas
mobil seberang jalan.
Mobil jeep merah perlahan datang dari arah berlawanan
dengan arah mobil yang kukendarai mendekati Mita, berhenti tepat di depannya.
Pintu terbuka, Mita menghilang seiring berlalunya mobil tadi. Aku mulai
berdebar. Jantungku memompa bahkan berkali-kali lebih cepat dari semenit yang
lalu.
Suasana jalan saat itu sedang sepi, segera kuputar
mobilku dan mengikuti jeep merah itu sampai berhenti di sebuah rumah mewah di
tengah kota. Mita turun dari mobil bersamaan dengan laki-laki itu. Berjalan
sambil merangkul Mita.
“Eh, Mita? Ngapain disini?” Rena, tiba-tiba
mengagetkan senyum Mita yang aku juga tidak tahu sejak kapan dia disana.
“Eh emm Rena. Eh eh, anu. Kamu ngapain disini?” Mita
kebingungan.
“Aku? Rumah yang disebelah itu kan rumah om aku. Yang dulu
aku ajak kamu main kesini sama Ryan pacar kamu tapi kamu nggak pernah mau.”
Kata Rena sambil melirik kearah pintu mobil yang kukendarai.
“Loh, ini siapa sayang? Ryan itu siapa? Hmm.” Tanya
laki-laki itu dengan wajah penuh tanda Tanya.
Belum sempat kudengar Mita menjawab karena kebingungan,
Aku segera turun dari mobil dan menampakkan diri dihadapan Mita. Mungkin
kehadiranku membuatnya sangat terkejut sampai keringat mengucur deras
diwajahnya yang seperti sedang ketakutan.
“Loh, kamu kenapa sayang? Ini Aku, Ryan, bukan setan.
Kenapa harus keringatan begitu?” kataku dingin.
Sejenak suasana hening! Semua bergeming, tak
terkecuali Mita dan lelaki – yang entah itu siapa.
Tiba-tiba Mita memelukku erat dan meneteskan air mata.
Sebenarnya Aku juga tidak tahan, ingin meluapkan kekecewaanku karena merasa
terkhianati tapi sebagai laki-laki aku harus jaga imej.
“Katakan apa yang ingin kamu jelaskan. Sekarang.” Kataku,
dingin.
“Maafin Aku, Ryan. Selama ini Aku bohong sama kamu.
Aku janji nggak akan ulangi ini lagi. Sumpah.”
Sambil menangis Mita berusaha membujukku. Mengungkapkan
semua yang disembunyikannya selama ini, lalu meminta maaf setelahnya. Entah apa
yang ada dipikiranku saat itu. Aku tidak marah. Tidak pada Mita dan tidak juga
pada laki-laki yang bersama Mita. Mungkin aku terlalu kecewa.
“Mita. Aku udah maafin kamu bahkan jauh sebelum kamu
melakukan ini. Aku justru berterima kasih sama kamu. Dengan begini Aku tahu
kalau Aku masih harus intropeksi diri. Aku pasti masih punya banyak bahkan
banyak sekali kekurangan sampai kamu melakukan ini. Sekarang pergilah, anggap
kita tidak pernah ada disini Anggap tidak
pernah ada cerita tentang kita. Lupakan semuanya dan lanjutkan hidupmu bersama
orang yang mungkin bisa membahagiakanmu melebihi caraku.”
Sambil tersenyum Aku dan Rena berlalu dihadapan
mereka. Meninggalkan Mita dan semua
pengkhianatannya. Pergi, membawa semua rasa sakitku. Aku dan Rena kembali ke
mobil, kini Rena yang memegang kemudi melajukan mobil membelah kota Makassar.
Rena bergeming, suasana hening. Lalu
samar kudengar sebuah lagu mengalun dari radio
Aku pulang..
Tanpa
dendam..
Kuterima..
kekalahanku..
Aku mendesah kelewat lelah. Perjalanan pulang kulalui
dengan diam, dengan lagu Berhenti Berharap sayup-sayup memecah keheningan. Rena
lebih memilih bungkam, mungkin mengerti apa yang kurasakan.
***
Aku tetap menyesal dengan kejadian ini tapi tetap
berterima kasih pada Rena. Ya! Dia sahabat yang sudah membuka mata hatiku.
Sementara itu, Mita terus saja mendatangiku, meminta maaf dan berusaha membujukku
untuk kembali, tapi aku tak akan mau terjatuh dikesalahan yang sama.
Aku memang masih sayang pada Mita, mungkin dia juga
begitu. Tapi, entahlah. Yang pasti Aku percaya pada satu orang juga hanya satu
kali. Untuk kedua kalinya, sepertinya kepercayaan itu milik orang lain.
***
Aku
takut, kita akan sama-sama menyesal telah membiarkan waktu menelan kata yang
tak sempat terucapkan oleh bibir.
Untuk sebagian orang, mungkin memberikan kesempatan
kedua adalah hal yang wajar. Mungkin untuk memberi kesempatan memperbaiki
kesalahan tapi bagiku itu tidak berlaku. Jika sejak awal tak pernah baik maka
selamanya tidak akan baik. Dikhianati oleh orang yang kita percayai selama
bertahun-tahun memang menyakitkan, tapi akan lebih meyakitkan jika
memberikannya kesempatan untuk menyakitimu kedua kalinya.
***
Tak terasa, Aku sudah membuka lembaran terakhir dari
buku catatan kecil ini yang semuanya dipenuhi dengan nama Mita. Dilembaran
terakhir di sudut bawah terdapat tulisan yang selalu kutulis pada semua buku
catatanku.
Jangan
membuat kesalahan hari ini karena belum tentu besok kesempatan menghampirimu.