Japanese Itu Bernama Yuki
Selepas
magrib, saat langit masih berwarna jingga oleh cahaya mentari yang sebentar
lagi akan tenggelam. Aku duduk diruang tamu bersama Ira, adik perempuanku yang
sedang asik mengerjakan PR dari gurunya. Aku memulai kebiasaanku menulis setiap
malam diruangan ini. Kebiasaanku ini sudah menjadi rutinitas sejak Aku duduk
dibangku SMA.
Saat
akan mulai menulis pengalamanku seharian ini, telponku berbunyi. Dari layar
warna kuning handphone-ku tertulis nama Ilmy, teman sekelasku dikampus yang
baru-baru ini akrab denganku karena kebiasaan kami yang sama, menulis dan
fotografi.
“Halo, kenapa
Mi?” jawabku singkat.
“Lagi dimana Wan?”
“Ini ada dirumah, biasa lagi nulis, hehe”
“Eh besok kita ke Fort Rotterdam yuk? Bareng Sam sama Yuni juga, Aku mau
bawa kamera, gimana?”
“Besok kan kita kuliah sampai sore Mi?”
“Ah besok Pak Burhan nggak masuk, tadi Aku udah telpon Trisno katanya
Beliau masih diluar kota.”
“oh oke. Tapi traktir ya! Haha.” Jawabku bercanda sambil tertawa kecil.
Ilmy ikut tertawa. Kami pun mengakhiri percakapan di telpon dengan
kesepakatan besok sore akan hunting
di Fort Rotterdam, salah satu
bangunan bersejarah peninggalan Belanda di kota Makassar, sekitar 200 meter
dari Pantai Losari.
***
Pukul 15.12, Pak Kasim, dosen mata kuliah pengantar ekonomi yang cukup
ramah itu meninggalkan ruangan BD 105, pertanda kuliah hari ini berakhir.
Seperti yang dikatakan Ilmy semalam, Pak Burhan selaku dosen Statistik sedang
berhalangan mengisi jadwal kuliah karena kesibukannya diluar kota. Rencana kami
semala untuk hunting sepertinya segera terealisasikan.
“Hei! Gimana nih masbro?” Ilmy mengagetkanku, menepuk pundakku dari
belakang.
“Siap Boss! Haha” jawabku sambil menarik tas berisi kamera digital dari
genggaman Ilmy.
“Tunggu Sam sama Yuni, dia lagi konsultasi sama pembimbingnya di
jurusan. Katanya sebentar lagi balik kesini”. Jelas Ilmy.
“Oh, okay!” jawabku singkat sambil sibuk mengutak-atik kamera digital
Canon EOS 650D kepunyaan Ilmy.
Ilmy diam saja, Dia memang tak pernah cerewet saat barang-barng miliknya
ku utak-atik. Begitu pun Aku. Meskipun kami baru kenal sejak baru masuk
dikampus ini sekitar 3 bulan lalu tapi kami saling percaya untuk banyak hal,
termasuk urusan asmara.
Sekitar 15 menit berdiri di depan ruangan kuliah, Sam dan Yuni sudah
datang. Kami segera menuju parkiran dan berangkat ketempat tujuan. Aku
berboncengan dengan Ilmy sementara Sam bersama Yuni. Sam dan Yuni memang sudah
berpacaran sejak SMA, mereka dari Bandung tapi melanjutkan kuliah di Makassar
karena masing-masing ikut keluarga.
Sam dan Yuni begitu menikmati perjalanan dengan kemesraannya. Sementara
Ilmy sibuk memperhatikan objek yang siap dijadikannya target jepretan
selanjutnya. Meski sedang diatas kendaraan, Ilmy tetap liar memperhatikan
sekeliling, Dia begitu bersemangat dengan hobinya itu.
Sekitar 30 menit menghirup polusi udara yang kotor, kami sampai di
parkiran Fort Rotterdam. Suasananya
begitu sejuk, nyaman dan sangat hijau dengan bangunan tua yang masih kokoh
meski telah berdiri sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lalu ini.
Ilmy tak membuang waktu, Dia langsung masuk ke halaman tempat bersejarah
ini dan mencari tempat yang menurutnya cocok untuk dijadikan objek fotografi
selanjutnya.
Sam dan Yuni jadi model di setiap jepretan kamera 18 megapiksel milik
Ilmy itu, sementara Aku bergantian dengan Ilmy mengabil gambar sambil sesekali
menjadikan Ilmy sebagai model juga.
Setelah berkeliling mengambil gambar selama kurang lebih 40 menit Yuni
duduk di rumput dekat pintu masuk.
“Guys, kita istirahat dulu
yuk! Capek nih.” Katanya sambil membuka sepatu high heels-nya.
Aku juga segera duduk disamping Yuni bersama Sam. Ilmy masih asyik
mengambil gambar berdekatan dengan seorang laki-laki yang juga sedang hunting
dengan kameranya. Dari mukanya seperti lebih tua beberapa tahun dari kami.
Ilmy mengambil gambar sambil berjalan mundur mendekati kami yang sedang
istirahat didekat pohon kerdil yang entah apa namanya ini.
Laki-laki tadi menyenggol lengan Ilmy tanpa sengaja.
“Ow sorry, sorry sorry. Saya
enggak sengaja.” Laki-laki itu meminta maaf sambil tersenyum dengan logat yang
sepertinya bukan orang Indonesia.
“Oh iya nggak apa-apa.” Balas Ilmy dengan senyuman ramah.
Ilmy duduk disampingku. Menghentikan mengambil gambar dan membuka galeri
kameranya melihat hasil jepretannya.
“Cie yang baru senggolan sama cowok cie.” Kataku pada Ilmy sambil ikut
melihat hasil kamera digitalnya.
“Hahaha apaan sih kamu Wan!” jawab Ilmy singkat.
Saat sedang asyik melihat-lihat hasil jepretan kami tadi, datang seorang
pria dewasa dengan jaket kulit mendekati kami.
“Permisi, dek. Mau Tanya. Kalau tempat yang biasa ada orang-orang kursus
Bahasa Jepang itu disebelah mana ya?” Tanya pria itu pada Sam.
Mata kami berempat langsung tertuju pada pria itu.
“Nggak tahu om, soalnya kami juga baru kesini. Coba Tanya sama penjaganya
yang disana.” Jawab Ilmy sambil menunjuk ke arah pos penjaga benteng ini.
“Enggak, kan biasanya saya mengajar anak-anak berbahasa Jepang disana
Cuma sekarang kok nggak ada ya.” Lanjut pria itu.
“Wah, maaf om tapi kita juga enggak tahu.”
“Oh begitu ya. Soalnya itu disana ada orang Jepang. Dia mau ketemu
sesamanya orang Jepang biar bisa komunikasi seperti kalau dirumahnya katanya.”
Pria itu menoleh kearah laki-laki yang rupanya Dia yang menyenggol Ilmy tadi.
Laki-laki itu tersenyum ke arah kami tapi tak berjalan mendekat, Dia
sibuk memperhatikan kameranya.
“Oh itu orang Jepang?” tanyaku.
“Iya, Dia dari Jepang, nggak kentara kan kalau Dia bule?”
“Pantas tadi cara bicaranya gitu ya” seru Ilmy.
“Iya, orang baru tahu dia bukan orang Indonesia kalau lagi ngomong.”
Jelas pria itu.
Obrolan kami semakin jauh. Kami berkenalan dengan guide dan Japanese
bermuka pribumi itu yang rupanya juga menyukai sastra dan fotografi. Dengan
sedikit kemampuan Bahasa Inggris yang kupunya Aku mencoba berkomunikasi
dengannya tanpa bantuan guide itu.
***
“Satu… dua… tigaa..” klik!
Suara dari kamera digital Yuki, Japanese
yang tingginya hamper sama denganku. Dia sudah 4 bulan berada di Indonesia dan
Makassar adalah tujuan destinasi terakhirnya sebelum kembali ke negeri asalnya.
Sebelumnya Yuki sudah menjelajahi hamper semua kota-kota besar di Indonesia dan
beberapa Negara di Asia Tenggara.
Kami semakin asyik dengannya dan hari kami seperti lebih berwarna karena
bisa akrab dengan orang dari luar Indonesia.
“Hey, how to say satu dua tiga
in Japan?” Tanyaku pada Japanese yang
hanya mengenakan celana pendek ini.
“Oh, nice.” Jawabnya.
“Stand up there”. Dia menunjuk
kea rah pohon didekatku.
“Here?” tanyaku lagi.
Ia mengangkat jempol. Sambil menghitung dalam bahasa Jepang.
“Ichi, Ni, San.”
“Gambarnya bagus, cool.”
Katanya.
Aku hanya tersenyum.
“Try to saying. Ichi, Ni, San, Xi,
Go’.” Yuki mengucapkan angka satu sampai lima dalam bahasa Jepang.
Ilmy langsung menirunya, begitu pun Sam dan yuni. Mereka terlihat sangat
asyik mendapatkan pelajaran ekstrakurikuler yang tak mereka dapatkan dibangku
sekolah dan kampus. Aku juga mulai mengikutinya.
Lama-kelamaan, Aku dan teman-teman menanyakan tentang hal lain dan
Bahasa Jepangnya. Yuki sangat senang kami banyak Tanya. Sementara pria guide
yang memperkenalkan kami pada Japanese ramah ini senyum-senyum sambil sesekali
tertawa kecil melihat keakraban kami.
Tak terasa hari sudah hamper gelap. Yuki dan guide yang tidak sempat
kami tanyakan namanya itu pun berpamitan untuk mempersiapkan keberangkatan Yuki
kembali ke Jepang besok pagi.
Kami bersalaman dan menutup perjumpaan kami hari ini dengan sebuah
jepretan dari kamera Yuki dan Ilmy. Sebuah hari yang menyenangkan dan sebuah
moment yang cukup langka bagi kami bisa berkenalan dan akrab dengan bule. Hari
ini memang sangat menyenangkan. Kami meninggalkan tempat ini dengan senyum
lebar dan perasaan gembira. Inilah hidup!
Gumamku sambil menancap gas meninggalkan Fort Rotterdam untuk kembali kerumah
dan menulis perjalananku hari ini untuk kubagikan pada teman dunia mayaku.