How to Save a Life

Snapwire on Pexels.
Judul               : How to Save a Life
Penyanyi        : The Fray
Album             : How to Save a Life
Tahun             : 2006

Mungkin akan ada yang berpikir kalau cerita ini sinetron banget, tapi cerita ini benar adanya.


Waktu kelas XI di SMA, gue punya (ehem) fans yang cukup banyak terutama di kelas X. Kemungkinan mereka mengenal gue saat MOS karena gue saat itu menjabat anggota OSIS dan ikut jadi panitia MOS di sekolah. Pokoknya setiap gue lewat di depan kelas X di jam istirahat, banyak yang siul-siul nggak jelas ke gue dan hal itu, sebenarnya, bikin gue risih karena gue orangnya sangat pemalu dan kadang malu-maluin. Tapi mau nggak mau gue harus lewat situ karena itu satu-satunya jalan menuju ruang guru, dan juga kantin. Daripada gue mati kelaparan karena malu, gue terpaksa lewat.

Di antara banyaknya anak kelas X yang (gue tau) ngefans sama gue, ada satu orang yang suka sama gue dan cukup agresif mendekati gue.

Namanya Manda.

Awalnya gue nggak merespons setiap kali teman-teman Manda menggoda gue di parkiran setiap jam pulang sekolah, tapi ketika gue mendengar kabar kalau ternyata dia juga adalah penggemar Bondan Prakoso dan Fade to Black, gue jadi tertarik dan mulai tukeran nomor handphone. Dulu belum ada WhatsApp, LINE, Kakao Talk, WeChat, apalagi BIGO LIVE.

Kami SMS-an.

Minggu pertama kenalan, Manda menawari gue untuk gabung jadi anggota Rezpector (sebutan untuk penggemar Bondan Prakoso & Fade to Black), minggu kedua gue diajakin nonton film di bioskop, dan minggu ketiga dia nembak gue. Tapi karena merasa selama tiga minggu itu gue nggak begitu cocok, gue akhirnya minta buat jadi teman aja.

Beberapa bulan kemudian, gue mendengar kabar kalau Manda diam-diam jadian sama Aan, salah satu teman akrab-banget gue saat itu. Saat mendengar kabar itu, gue curiga kalau Manda jadian sama Aan bukan karena murni suka, tapi biar bisa semakin dekat sama gue karena waktu itu memang gue dekat banget sama Aan. Gue ke sekolah bareng Aan, pulang sekolah bareng Aan, dan main sampai malam juga sama Aan. Sampai awal masuk kuliah pun gue masih selalu main sama Aan.

Tapi ketika tau kabar mereka jadian, gue nggak langsung nanya ke Aan, dan Aan juga nggak cerita ke gue kalau dia punya pacar baru.

“Dari siapa sih, An?” tanya gue ketika Aan baru selesai teleponan. Kita lagi tiduran di teras depan rumah sambil menatap langit yang nggak ada bintangnya.

“Dari Manda.”

“Oh ya? Kalian udah jadian?”

“Udah hampir dua bulan.”

“Oh..”

Respons gue sebenarnya lebih karena nggak percaya, tapi kenyataannya memang seperti itu. Setelah itu Aan terus bercerita tentang Manda; bagaimana mereka bisa jadian, di mana mereka sering ketemuan, ngapain aja, malam sebelumnya berbuat apa, dan bagaimana Aan sayang banget sama Manda.

Gue percaya apa yang diungkapkan Aan soal perasaannya ke Manda, tapi hati gue terus menolak setiap kali ingin meyakini bahwa Manda juga menaruh perasaan yang sama. Gue bukannya egois dengan nggak menerima bahwa Manda sudah move on dari gue dan berpaling ke teman terdekat gue. Hampir setiap malam gue memikirkan Manda dan Aan sebelum tidur.

Gue nggak cemburu.

Sama sekali enggak.

Gue hanya terus dihantui rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Akhirnya, gue memilih untuk bertindak untuk membuktikan sendiri sesuatu yang terus mengganjal di pikiran.

“Hari ini gue mau ketemu Manda, lu mau ikut nggak?” tanya Aan waktu gue baru selesai makan siang di rumahnya sepulang kuliah pagi.

“Eh? Di mana emangnya?” kata gue. “Ah, nggak ah. Ntar gue jadi obat nyamuk.”

“Dia juga berdua sama temennya. Makanya gue ngajak elu.”

“Ayunda?”

“Yap!”

“Boleh deh.”

Sore harinya gue dan Aan ketemuan sama Manda dan Ayunda di sebuah dermaga di dekat sekolah. Aan berduaan sama Manda, sementara gue diem-dieman sama Ayunda.

Ayunda ini teman Manda yang dulu selalu ngomporin gue sama Manda di parkiran sekolah.
“Mereka udah jadian lama ya?” gue membuka suara.

“Eh, i-iya, Kak. Udah dua bulan lebih kayaknya.”

“Oh, udah lama ya.”

“Kaget kan, Kak?”

“Eh, enggak.”

“Aku sendiri juga heran.”

“Loh, heran kenapa?”

“Ya heran aja.”

Kemudian kami kembali saling diam selama beberapa saat. Gue menatap matahari yang mulai terbenam dan penikmat senja kerbitan lainnya yang mulai meninggalkan dermaga satu per satu.

Ketika hendak pulang, gue iseng (eh sebenarnya bukan iseng, sih) meminta nomor Manda.

“Masih yang dulu kok, Kak,” jawab Manda saat motor sudah mulai melaju meninggalkan dermaga.

Sayangnya nomor Manda sudah nggak ada di daftar kontak gue.

“Nanti aku aja yang kasih, Kak. Fokus bawa motor aja,” sela Ayunda. Gue memberikan handphone gue ke dia dan minta nomor Manda buat ditambahkan ke kontak.

Jelang tengah malam, gue nggak bisa tidur. Semakin dan semakin kepikiran  sama Manda dan Aan. Setelah mikir sedemikian rupa dan dengan penuh pertimbangan, gue pun mulai mengirimkan pesan singkat ke Manda.

“Hai, ini nomor saya ya. Firman.”

Hanya berselang semenit, Manda membalas,

“Yap. Masih kesave kok nomornya, Kak.”

“Udah berapa lama jadian sama Aan?”

“Dua bulan, Kak. Kenapa?”

“Nggak papa. Nanya aja.”

“Oh, kirain ada apa.”

Gue diam beberapa menit, mencoba memikirkan kata yang tepat untuk pesan selanjutnya. Gue memejamkan mata dan membayangkan wajah Aan dan Manda bergantian.

“Kalau saya nembak kamu sekarang, kamu terima, nggak?”

“Pasti.”

DEG!

Gue keselek kopi kapal api yang apinya udah padam dan kapalnya udah dijual. Dugaan gue benar, kan. Tapi gue butuh validitas informasi tambahan.

“Tapi kamu sudah punya pacar.”

“Apakah itu masalah?”

“Iya, kalau ketahuan.”

“Makanya jangan ketahuan.”

“Well. Jadi…”

“Jadi?”

“Kita pacaran?”

“Iya.”

Gue menjalani hubungan terlarang ini selama sekitar sebulan tanpa ada yang tau. Sampai suatu malam ketika gue dan Aan pulang nonton konser, dia bilang begini:

“Man, lu punya nomornya Manda, kan?”

“Punya. Kenapa, An?”

“Gue mau minta tolong, lo pura-pura nembak Manda terus kasih tau gue apa jawabannya. Gue penasaran kira-kira jawaban dia apa.”

Jantung gue rasanya mau copot.

“Emang kenapa?”

“Nggak papa, gue pengen tau aja. Bisa, kan?”

“Bi-bisa, bisa, sih. Tapi besok aja, ya, sekarang kayaknya Manda udah tidur. Udah jam segini.”

Malam itu gue nggak bisa tidur dan besoknya gue nggak melakukan yang diperintahkan sama Aan. Beberapa hari kemudian Manda datang dengan kabar bahwa Aan sudah tau kalau gue diam-diam pacaran dengan Manda.

“Kok dia bisa tau?” tanya gue dengan perasaan yang udah nggak bisa dijelaskan.

“Ayunda,” jawab Manda, lesu.

“Kok Ayunda bisa tau?”

“Iya, dia tau.”

“Jadi, gimana?”

“Saya sayang sama kamu, Firman.”

Okay, Manda, but I don't. I just want to save a friend.

“Saya nggak bisa, Manda. Aan lebih dulu sama kamu, dan dia juga sayang sama kamu,” jelas gue.

“Kamu nggak sayang sama saya?” tanya Manda.

Gue berpikir sebentar. Jawaban apa pun yang gue berikan akan menempatkan diri gue di posisi yang salah.

“Kamu sayang nggak sama saya?” Manda bertanya lagi.

“Iya, sayang.”

“Kalau begitu saya pilih kamu.”

“Saya nggak bisa, Manda. Ini akan menyakiti sahabat saya.”

“Kalau nggak bisa, kenapa dulu kamu nembak saya?”

Sebenarnya gue cuma pengin membuktikan keraguan gue selama ini, Manda. Nggak kurang dan nggak lebih. Ingin sekali gue menjelaskan pada Manda, tetapi gue nggak pernah mengantisipasi hal ini dan apa pun penjelasan gue ke Manda tetap akan menyakitinya. Gue menempatkan diri di posisi yang salah sejak awal.

Akhirnya, gue dan Manda berpisah hari itu.

Di jalan pulang, handphone gue terus bergetar di saku celana. Gue menepi untuk melihat siapa yang begitu penting menelepon gue di jam makan siang.

“Halo, kenapa, Mri?” kata gue menjawab telepon Amri.

“Di mana lo sekarang, Man?”

“Di jalan, mau pulang. Kenapa?”

“Kalau bisa, jangan lewat perempatan rumah Aan. Tadi gue ketemu dia dan dia katanya mau mukulin elo sampai babak belur. Sebaiknya ambil jalan lain. Oke?”

“Oh, oke. Thanks, ya, Mri!”

Setelah menutup telepon, gue melanjutkan perjalanan dan memilih jalan yang lebih jauh sesuai saran Amri. Sejak saat itu gue nggak pernah lagi ketemu Aan dan nggak pernah menyelesaikan masalah ini.


I’ve just lost a friend. A good friend.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.