Itu Backpack, Bukan Ransel!

Rumah Sejuta Martabak Yogyakarta City, Indonesia



Percaya atau nggak, sejak SMP gue udah punya backpack dan gue pake ke sekolah seolah-olah itu adalah ransel/tas punggung biasa. Gue baru menyadari perbedaan ransel dengan backpack setelah membaca dua twit ini:








Memang tipis banget, tapi beda.

Biasanya yang ngerti dan peduli soal perbedaan yang tipis banget kayak gini, itu cewek-cewek, yang kadang membagi warna hijau menjadi beberapa jenis; hijau muda, hijau tua, hijau lumut, hijau toska, sampai hijau daun yang kayaknya udah bubar, entahlah.

Dan sama kayak cowok yang nggak peduli  tentang nama warna selain me-ji-ku-hi-bi-ni-u, gue juga nggak peduli ada berapa jenis tas yang ada di planet ini. Mau itu ransel, backpack, briefcase, holdall, tote bag, satchel, messenger bag, shoulder bag, sling bag, ataupun clutch bag, gue hanya menyebutnya dengan satu nama: TAS.

Sayangnya gue nggak punya foto backpack gue itu lagi karena udah rusak (dan dibuang emak) sebelum masuk kuliah dan diganti sama ransel biasa yang gue beli di distro yang sebelahan sama toko buku. Dan sekarang tas itulah yang gue pake ke mana-mana, sejak gue masih jadi anak rumahan di Makassar, sampai sekarang gue jadi anak rantau-yang-entah-nantinya-mau-jadi-apa di Yogyakarta.

Perhatikan tasnya aja, nggak usah gagang pintunya...

Inilah tas gue sekarang yang menemani gue ke mana-mana. Apa pun jenis acaranya, kalau membutuhkan tas, tas itulah yang gue pake. Mau itu acara kantor, acara ngumpul sama temen-temen, acara blogger, ketemu klien, sampai acara kondangan gue selalu pake tas itu. Setianya tas itu bahkan udah ngelebihin setianya sebuah deodoran, mungkin karena akhir-akhir ini gue jarang mandi.

Kemudian gue ngeliat seseorang ngeshare sebuah tas jenis backpack di Twitter, dan seketika itu juga gue langsung pengen punya backpack itu. Gue merasa, kebersamaan gue dengan tas kesayangan gue ini sepertinya sudah cukup sampai di sini. Gue butuh tas baru yang lebih besar (dan lebih keren) buat dipake jalan-jalan atau pas mudik, dan yang modelnya beda karena sepanjang jalan gue melihat kebanyakan orang memakai tas dengan model yang sama dengan yang gue punya. Selain itu, gue butuh tas yang good looking buat… buat… buat pamer-pamer dikit bisa, lah…


Ini adalah tas yang gue maksud tadi. Namanya GENIROGA, diambil dari kata “Geni” yang berarti “Api”, dan “Roga” dari kata Sansakerta yang berarti “Sakit”. Secara filosofis GENIROGA berarti adalah sebuah kekuatan yang sangat besar yang mampu mengalahkan musuh dengan sangat mudah.

Itu berarti GENIROGA sangat bisa diandalkan untuk perjalanan jauh, dan untuk berlindung dari keisengan seekor kecoa terbang.

Setidaknya ada 3 alasan kenapa gue pengen punya backpack GENIROGA itu, dan alasannya adalah…

Satu, karena GENIROGA pilihan warnanya bagus dengan motif tenun.

GENIROGA punya tiga pilihan warna yang menarik; Red Sasak, Black Sasak, dan Blue Sasak. Kenapa warnanya pake nama sasak? Karena motif horizontal anti-mainstream yang ada di bagian badannya itu adalah hasil tenun sasak yang sekarang sudah mulai langka.
Ssstt... karena gue paling suka warna hitam, jadi gue masuk #TimBlueSasak #LHA

Dengan kata lain, GENIROGA ini adalah produk limited edition.

Dua, karena GENIROGA ukurannya besar.

Cukup sulit menemukan backpack seukuran GENIROGA dengan dandanan secantik itu. Kebanyakan yang ada di toko tas kalo nggak polos ya polos banget. Alasannya karena seorang backpacker (katanya) lebih mementingkan fungsi daripada penampilan. Tapi kalo keduanya bisa disatukan, kenapa enggak, kan?

Dengan ukuran 50 x 30 x 20 cm, di dalam GENIROGA terdapat banyak sekali ruang khusus untuk berbagai barang tertentu, di antaranya tempat khusus untuk menaruh pulpen, passport, kartu-kartu, koin-koin, laptop, charger, minuman botol, kamera GoPro, daleman, kulkas, mesin cuci, dan tempat-tempat penyimpanan lainnya untuk memisahkan barang-barang penting. Meskipun nggak ada ruang khusus untuk menyimpan mantan, tapi ada satu ruang yang bisa dijadikan tempat untuk menyimpan kenangannya #UHUK.

Tiga, karena GENIROGA asli Indonesia.

Kita memang harus mencintai produk-produk asli Indonesia, karena itulah kenapa gue nggak pernah mau pacaran sama bule. Bukan karena nggak ada bule yang mau, tapi karena… karena… beneran, karena gue cinta produk Indonesia.

FYI, teknik tenun sasak adalah budaya turun-temurun suku Sasak di Lombok, NTB yang meskipun langka, sekarang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Jadi nggak ada alasan buat nggak usah punya GENIROGA karena ke mana pun gue membawanya orang-orang pasti tau.

Eh, udah tiga ya?

Sebenarnya, alasan utama gue pengen punya backpack baru bukan hanya karena itu. Tapi karena…

... liat aja sendiri tas gue.

Perhatikan, Reader!

Kalo diperhatikan lagi, di bagian bawahnya udah kotor banget karena jarang dicuci. Gimana mau bersih kalo setiap kali mau dicuci selalu aja ada kegiatan dan gue terpaksa harus pake tas itu lagi. Selain itu, di beberapa bagian udah mulai terkelupas, mungkin karena faktor usia. Lady Gaga yang pake krim anti-aging aja sekarang keriputnya keliatan, apalagi tas gue yang nggak pernah pake krim.

Udah disikat, tapi masih keruh. Kayak.... 🙊🙊🙊

Setelah ngeliat GENIROGA, gue ngeliatin ke mantan sambil bilang, “Eh, ini ranselnya bagus, ya, keren.”

“ITU BACKPACK BUKAN RANSEL!!!” teriak mantan gue dengan keras sambil menggandeng tangan pacar barunya yang lebih ganteng, dan meninggalkan gue sendirian.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.