Itu Backpack, Bukan Ransel!
Rumah Sejuta Martabak
Yogyakarta City, Indonesia
Percaya
atau nggak, sejak SMP gue udah punya backpack dan gue pake ke sekolah
seolah-olah itu adalah ransel/tas punggung biasa. Gue baru menyadari perbedaan
ransel dengan backpack setelah membaca dua twit ini:
@takdos yah, belum punya backpack. cuma ada ransel biasa 😩— udafanz.com (@udafanz) November 28, 2016
Memang
tipis banget, tapi beda.
Biasanya
yang ngerti dan peduli soal perbedaan yang tipis banget kayak gini, itu
cewek-cewek, yang kadang membagi warna hijau menjadi beberapa jenis; hijau
muda, hijau tua, hijau lumut, hijau toska, sampai hijau daun yang kayaknya udah
bubar, entahlah.
Dan
sama kayak cowok yang nggak peduli
tentang nama warna selain me-ji-ku-hi-bi-ni-u, gue juga nggak peduli ada
berapa jenis tas yang ada di planet ini. Mau itu ransel, backpack, briefcase,
holdall, tote bag, satchel, messenger bag, shoulder bag, sling bag, ataupun
clutch bag, gue hanya menyebutnya dengan satu nama: TAS.
Sayangnya
gue nggak punya foto backpack gue itu lagi karena udah rusak (dan dibuang emak)
sebelum masuk kuliah dan diganti sama ransel biasa yang gue beli di distro yang
sebelahan sama toko buku. Dan sekarang tas itulah yang gue pake ke mana-mana,
sejak gue masih jadi anak rumahan di Makassar, sampai sekarang gue jadi anak
rantau-yang-entah-nantinya-mau-jadi-apa di Yogyakarta.
Inilah
tas gue sekarang yang menemani gue ke mana-mana. Apa pun jenis acaranya, kalau
membutuhkan tas, tas itulah yang gue pake. Mau itu acara kantor, acara ngumpul
sama temen-temen, acara blogger, ketemu klien, sampai acara kondangan gue
selalu pake tas itu. Setianya tas itu bahkan udah ngelebihin setianya sebuah
deodoran, mungkin karena akhir-akhir ini gue jarang mandi.
Kemudian
gue ngeliat seseorang ngeshare sebuah tas jenis backpack di Twitter, dan
seketika itu juga gue langsung pengen punya backpack itu. Gue merasa,
kebersamaan gue dengan tas kesayangan gue ini sepertinya sudah cukup sampai di
sini. Gue butuh tas baru yang lebih besar (dan lebih keren) buat dipake
jalan-jalan atau pas mudik, dan yang modelnya beda karena sepanjang jalan gue
melihat kebanyakan orang memakai tas dengan model yang sama dengan yang gue
punya. Selain itu, gue butuh tas yang good
looking buat… buat… buat pamer-pamer dikit bisa, lah…
Ini
adalah tas yang gue maksud tadi. Namanya GENIROGA, diambil dari kata “Geni”
yang berarti “Api”, dan “Roga” dari kata Sansakerta yang berarti “Sakit”.
Secara filosofis GENIROGA berarti adalah sebuah kekuatan yang sangat besar yang
mampu mengalahkan musuh dengan sangat mudah.
Itu
berarti GENIROGA sangat bisa diandalkan untuk perjalanan jauh, dan untuk
berlindung dari keisengan seekor kecoa terbang.
Setidaknya
ada 3 alasan kenapa gue pengen punya backpack GENIROGA itu, dan alasannya
adalah…
Satu, karena
GENIROGA pilihan warnanya bagus dengan motif tenun.
GENIROGA
punya tiga pilihan warna yang menarik; Red Sasak, Black Sasak, dan Blue Sasak.
Kenapa warnanya pake nama sasak? Karena motif horizontal anti-mainstream yang
ada di bagian badannya itu adalah hasil tenun sasak yang sekarang sudah mulai
langka.
Dengan
kata lain, GENIROGA ini adalah produk limited edition.
Dua, karena GENIROGA
ukurannya besar.
Cukup
sulit menemukan backpack seukuran GENIROGA dengan dandanan secantik itu.
Kebanyakan yang ada di toko tas kalo nggak polos ya polos banget. Alasannya
karena seorang backpacker (katanya) lebih mementingkan fungsi daripada
penampilan. Tapi kalo keduanya bisa disatukan, kenapa enggak, kan?
Dengan
ukuran 50 x 30 x 20 cm, di dalam GENIROGA terdapat banyak sekali ruang khusus
untuk berbagai barang tertentu, di antaranya tempat khusus untuk menaruh
pulpen, passport, kartu-kartu, koin-koin, laptop, charger, minuman botol,
kamera GoPro, daleman, kulkas, mesin cuci, dan tempat-tempat penyimpanan
lainnya untuk memisahkan barang-barang penting. Meskipun nggak ada ruang khusus
untuk menyimpan mantan, tapi ada satu ruang yang bisa dijadikan tempat untuk
menyimpan kenangannya #UHUK.
Tiga, karena
GENIROGA asli Indonesia.
Kita
memang harus mencintai produk-produk asli Indonesia, karena itulah kenapa gue
nggak pernah mau pacaran sama bule. Bukan karena nggak ada bule yang mau, tapi
karena… karena… beneran, karena gue cinta produk Indonesia.
FYI,
teknik tenun sasak adalah budaya turun-temurun suku Sasak di Lombok, NTB yang meskipun
langka, sekarang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Jadi nggak ada alasan
buat nggak usah punya GENIROGA karena ke mana pun gue membawanya orang-orang
pasti tau.
Eh,
udah tiga ya?
Sebenarnya,
alasan utama gue pengen punya backpack baru bukan hanya karena itu. Tapi
karena…
... liat
aja sendiri tas gue.
Kalo
diperhatikan lagi, di bagian bawahnya udah kotor banget karena jarang dicuci.
Gimana mau bersih kalo setiap kali mau dicuci selalu aja ada kegiatan dan gue
terpaksa harus pake tas itu lagi. Selain itu, di beberapa bagian udah mulai
terkelupas, mungkin karena faktor usia. Lady Gaga yang pake krim anti-aging aja
sekarang keriputnya keliatan, apalagi tas gue yang nggak pernah pake krim.
Setelah
ngeliat GENIROGA, gue ngeliatin ke mantan sambil bilang, “Eh, ini ranselnya
bagus, ya, keren.”
“ITU
BACKPACK BUKAN RANSEL!!!” teriak mantan gue dengan keras sambil menggandeng
tangan pacar barunya yang lebih ganteng, dan meninggalkan gue sendirian.