Like A Mirror




via DEVIANART

Hidup selalu penuh dengan pilihan. Dimulai ketika kita membuka mata di pagi hari, hingga kembali menutup mata dan beristirahat di malam hari, semua itu adalah hasil dari pilihan kita. Hidup memberikan kita kesempatan untuk memilih. Dan tentu saja, jadi pilihan.
“Gimana, kamu udah siap?”

“Sudah dong. Yuk berangkat!”

Bobby dan Nina bersiap-siap menuju sebuah bioskop untuk merayakan hari jadian mereka yang hari ini menginjak usia tepat satu tahun. Mereka sudah pacaran sejak kelas tiga SMA. Bobby mengendarai mobil Toyota Rush hitam yang sebenarnya lebih sering digunakan Made, sopir yang sekaligus adalah asisten pribadinya.

Bobby memang terlahir dari keluarga yang kaya raya. Ayahnya punya bisnis di mana-mana dan hartanya melimpah. Tapi hal itu tidak lantas membuat Bobby menjadi orang yang sombong, meskipun dari jauh orang sudah bisa menebak seperti apa kepribadian Bobby. Ia selalu rapi dengan kemeja dan jins serta sepatu ala business man. Rambutnya selalu terlihat basah dengan gel rambut yang lembut. Dan wajahnya selalu kelihatan segar dengan bibir yang selalu terlihat tersenyum meski sebenarnya dia memasang muka tanpa ekspresi.

Nina tahu semua itu. Nina juga tahu dengan dirinya yang tidak lebih dari hanya seorang siswi yang kehidupannya biasa, tapi punya wajah di atas rata-rata. Nina begitu cantik untuk cewek seumurannya, dan itu adalah alasan ketika Bobby pertama kali menyatakan cinta padanya. Tapi, bahkan orang sekeren dan setampan Booby tidak langsung mampu memikat hati Nina. Ia butuh waktu sebulan dan tujuh hari pedekate sebelum menyatakan cinta dan menunggu satu minggu penuh setelah menyatakan cinta sebelum akhirnya diterima.

“Aku sudah pikir-pikir, dan aku mau terima kamu jadi pacarku.” Sesingkat itu jawaban Nina waktu itu yang dibalas dengan sunggingan senyum yang membekukan mata oleh Bobby.
Sampai setahun mereka pacaran hari ini, mereka masih selalu terlihat mesra dan bahagia. Orang-orang kebanyakan akan iri ketika melihatnya. Mereka juga sering terlibat perselisihan setiap kali adu argumen dan menemukan adu pendapat—sama seperti pasangan muda pada umumnya—, tapi tak pernah lewat dari sehari lalu mereka akan akur kembali.

“Habis ini kita ke mana lagi?” tanya Bobby yang merangkul Nina keluar dari teater bioskop. Mereka baru saja selesai menonton film terbaru yang baru dua hari tayang di bioskop tanah air.
“Kita cari makan. Iya, makan,” jawab Nina tanpa menatap Bobby. Ia hanya terus berjalan di bawah rangkulan tangan Bobby. Mereka berjalan sambil tersenyum. Nina membayangkan beberapa potongan adegan film yang masih tersisa di kepalanya, sementara Bobby memikirkan di mana mereka sebaiknya makan untuk merayakan hari jadi.

“Kita mau makan apa?” tanya Bobby lagi.

“Pizza!” jawab Nina spontan, disertai gelagak tawa yang kemudian dibalas Bobby dengan mengacak-acak rambut Nina.

Mereka kembali tertawa. Sesekali rangkulan Bobby terlepas dan mereka berjalan tanpa bersentuhan satu sama lain. Mungkin mengerti keadaan sekitar, banyak jomlo di sekitar mereka.
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitulah kalimat yang diamini seluruh manusia di bumi. Dari penampilan memang Bobby menang banyak dari cowok-cowok kebanyakan, tapi Bobby pun punya kekurangan. Dia nggak suka nyanyi dan nggak bisa main gitar. Juga tidak suka makan Pizza. Untuk yang terakhir, entah apa alasannya.

“Kamu kok bisa sih nggak suka sama Pizza, Yang?” tanya Nina setelah menyantap Steak Tenderloin di piringnya.

“Kamu ini. Kalo lagi makan jangan bicara!”

“Lha, itu kamu juga bicara.”

“Itu aku ngingatin kamu, tauk!”

“Ah, sama aja. Dasar. Hahahaha!”

Pertanyaan itu sudah belasan bahkan puluhan kali ditanyakan Nina. Sekalipun bukan di tempat makan. Anehnya, Nina tidak pernah bosan menanyakan itu, dan Bobby tidak pernah menjawab dengan penjelasan.

“Ya, nggak suka aja.” Begitu selalu jawabannya.

Sungguh bukan jawaban yang diinginkan seorang perempuan dari lelakinya. Tapi Nina juga tidak pernah menganggap serius hal itu. Toh semua orang punya kesukaan dan ketidaksukaan. Seperti Nina yang suka menyanyi tapi tidak pernah suka mendengar suara Bobby ketika menyanyi. “Suara kamu cempreng!” katanya ke Bobby ketika Bobby mencoba menghibur Nina dengan lagu cinta sekali waktu. Sejak itu, Bobby tidak pernah lagi menanyi di depan Nina, padahal pengetahuannya tentang musik terbilang lumayan.

“Yang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Bobby tiba-tiba teringat akan sesuatu. Wajahnya terlihat serius, meski senyum itu tak pernah lepas dari bibirnya. Nina membayangkan ketika Bobby tertidur dan ia masih tersenyum. Oh, indah sekali.

“Iya, kenapa? Kok kayaknya serius banget.”

“Emang serius.”

“Ya udah, apa?”

“Aku mau melanjutkan pendidikan ke Amerika. Papa udah ngijinin aku, sekarang aku mau ijin ke kamu.”

Nina tersedak. Kentang goreng yang sudah setengah perjalanan menuju perutnya, rasanya seperti sedang kena razia, ditilang polisi. Semuanya berhenti. Matanya membelalak.

What? Are you kidding me?!” jawabnya.

“Iya, aku mau ke Amerika. Apa kamu bisa LDR-an?”

How long?”

About four years. Maybe five. Tergantung.”

“Bisa,” jawab Nina setelah lama mulutnya membentuk ‘O’ dan pikirannya ditempeli bermacam-macam rasa. “Kamu yakin bisa?”

“Aku sih, yakin-yakin saja. Yang penting kita tetap berkomunikasi.”

Seketika Nina teringat sesuatu. Kemarin siang dia baru saja menyelesaikan satu novel dengan tema LDR yang dia ingat intinya seperti ini: “LDR itu bullshit. Pacaran sama hape dan nggak tau dia di sana lagi sama siapa, lagi ngapain, dan mikirin hal yang sama atau enggak.” Ditambah lagi ada kalimat “Aku sih, yakin-yakin saja” dari salah satu tokoh dalam cerita itu yang ternyata berkhianat pada akhir ceritanya.

“Kalau itu keputusan kamu, aku bisa apa…”

“Kalau kamu nggak bisa, aku bisa batalin kok. Kita bisa kuliah di sini sama-sama.”

“Nggak pa-pa, kok. Kamu berangkat aja,” kata Nina yang sepersekian detik kemudian menyesali perkataannya baru saja.

Hari itu mereka berpisah dengan penuh kebimbangan dalam benak Nina. Memori tidak enak menutup 365 hari hubungan mereka.

***

“Gimana, Bob? Sudah siap jadi arsitek?” tanya ayah Bobby ketika mereka sekeluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Momen yang jarang mereka nikmati mengingat ayahnya begitu sibuk dengan bisnis. Akan jadi semakin jarang setelah Bobby memutuskan untuk berangkat ke Amerika.

“Masih bingung, Pah.” Bobby memandangi Robby, saudara kembarnya yang sedang asyik dengan gitarnya di ujung sofa panjang itu.

Bobby dan Robby memang kembar. Mereka bagaikan cermin dan pantulannya dari segi fisik, tapi kepribadian mereka bagaikan dua sisi mata uang. Bobby selalu rapi dan bersih, Robby apa adanya. Rambut Bobby selalu tertata rapi dan terlihat basah, Bobby kering seperti sapu ijuk namun lebih halus. Dan yang paling penting: Bobby tidak punya bakat menyanyi dan bermain musik, sementara Bobby adalah vokalis sekaligus gitaris di band-nya. Cita-cita Robby sejak SMP adalah menjadi musisi terkenal. Meskipun namanya mirip Drummer grup band Linkin Park, Rob Bourdon, tapi dia sendiri ingin seperti Ben Burnley, vokalis yang juga sekaligus adalah gitaris dari band Breaking Benjamin.

Tiba-tiba Bobby memikirkan sesuatu yang akan terdengar cukup gila. Apalagi oleh Robby, saudara kembarnya itu.

“Robb, gue mau minta tolong boleh nggak?” teriaknya ke Robby yang sedang serius. Robby tidak menggubrisnya. “Anggap aja ini permintaan gue sebelum berangkat ke Amrik nanti,” sambungnya.

“Apaan?”

Ayah dan ibunya memandangi mereka berdua bergantian, dalam diam. Mereka sedang menebak-nebak apa yang akan dilakukan kedua anak mereka yang usianya hanya terpaut 4 menit 30 detik ini. Bobby membisikkan sesuatu ke telinga Robby. Cukup lama, sampai akhirnya yang tadinya hanya bisik-bisik menjadi sebuah percakapan yang terdengar abu-abu ke telinga ayah dan ibunya.

“HAHA. Lo gila ya!” suara Bobby agak keras, tapi disertai tawa.

Hanya itu yang ayah dan ibu mereka dengar dari percakapan panjang itu. Mereka lalu tahu, semuanya berjalan baik-baik saja.

***

Minggu kedua di bulan Agustus, Bobby berangkat ke Amerika untuk memperjuangkan cita-citanya. Cintanya ia titipkan sementara waktu pada Robby dengan banyak syarat. Salah satunya adalah, biarkan Bobby yang tetap berkirim pesan dengan Nina saat Robby sedang tidak bersamanya.

“Aku nggak jadi berangkat, tapi tahun ini nganggur dulu. Aku kuliahnya tahun depan.”

Pengakuan Bobby sontak membuat Nina kaget. Tapi lagi-lagi, tidak ada penjelasan lebih spesifik selain kalimat, “Lagi males aja, belum tau mau ambil jurusan apa” yang keluar dari mulut Bobby.

Nina memang tidak pernah tau kalau Bobby punya kembaran. Bobby pun sudah menjelaskan secara detail hal-hal yang sering dilakukan Bobby bersama Nina. Kesukaan dan ketidaksukaannya. Hari ini hari pertama Robby bertemu Nina setelah Bobby berangkat ke Amerika. Tentu saja, Robby harus mengenakan celana jins panjang dan kemeja yang kasual. Mereka bertemu di akhir pekan, yang artinya nonton lalu makan dan menghabiskan waktu saling menceritakan kejadian seminggu berlalu. Setelah pulang, Robby akan menceritakan semuanya ke Bobby lewat BBM, LINE, atau WhatsApp. Atau aplikasi perpesanan apa pun yang sedang dibukanya. Lalu Bobby akan berkirim pesan dengan Nina seolah dialah yang menghabiskan waktu dengan Nina seharian. Dua bulan pertama masih berjalan dengan lancar dan baik-baik saja. Robby menjalankan peran dengan baik. Komunikasi Bobby dengan Nina lewat chat juga tidak terputus.

“Bob, kamu jemput aku di kampus bisa nggak? Papaku nggak bisa soalnya. Dan ini udah mau malam. Aku takut pulang malam sendirian.”

“Bisa. Jam berapa?”

“Sekarang, lah. Ini udah hampir malam, kalik.”

Robby langsung berangkat dengan mobil Rush milik Bobby yang sekarang berpindah hak kepemilikan. Setidaknya sampai Bobby kembali dari Amerika. Bobby begitu mencintai Nina, sama seperti ia mencintai apa yang sedang diperjuangkannya hingga ia membuat keputusan yang dipikirnya adalah cara terbaik.

“Aku ada di depan,” kata Robby di telepon saat mobilnya baru saja terparkir di halaman depan kampus Nina.

Nina berjalan ke depan. Hujan baru saja berhenti saat Robby tiba. Sisa-sisa hujan yang tersisa di jalanan yang basah sedikit mengotori bagian belakang sepatu Nina. Nina membuka pintu mobil, ia memandang Robby dan kaget.

“Bobby?” suaranya terlontar seperti auto-text di handphone.

Robby lalu menyadari dirinya tidak sedang menjadi Bobby. Ia hanya mengenakan celana jins pendek yang pahanya sobek-sobek khas anak band. Sandal jepit murahan dan kaus oblong yang nyaris tidak ada tulisannya.

“Sialan!” umpatnya.

WHAT?!” kepala Nina miring.

“Eh, nggak. Ini aku lagi buru-buru soalnya makanya nggak sempat ganti baju. Kamu sih ngabarinnya dadakan gini.”

Sebelumnya, semendadak apa pun waktunya, Nina tidak pernah melihat Bobby berdandan seperti ini.

***

Tahun kedua, saat mereka jalan berdua, Nina menyadari satu hal. Sekarang Bobby jadi sering menyanyi. Hal berikutnya yang ia sadari adalah, suara Bobby sekarang bagus banget! Seperti suara penyanyi luar negeri. Hal yang tidak kalah mengejutkan yang baru disadari Nina, sekarang Bobby jadi doyan makan Pizza. Bahkan pernah sekali Bobby minta tambah. Nina merasa sedikit aneh, tapi dia membiarkannya saja. Barangkali Bobby sedang mencoba sesuatu yang baru, pikirnya.

Robby tahu ia melakukan kesalahan yang fatal. Tetapi sudah terlanjur. Dia ingin membicarakannya pada Bobby, tapi bingung kata seperti apa yang tepat untuk memulainya. Sampai pada akhirnya, Bobby menyembunyikan semua hal itu. Termasuk satu hal yang harusnya tidak ia lakukan: jatuh cinta pada kekasih saudaranya.

Robby jatuh cinta pada Nina. Ia menyukai kepribadiannya yang santai, cukup humoris, dan yang pasti tidak banyak menuntut dan tidak banyak bertanya pada hal-hal yang memang seharusnya tidak perlu ditanyakan. Robby jatuh cinta pada kesederhaan dan kejujuran yang diperlihatkan Nina. Juga caranya membimbing agar tidak perlu menghamburkan uang terlalu banyak setiap kali nge-date  Ia jadi nyaman setiap kali di dekatnya. Dan lagi, empat tahun bukan waktu yang singkat untuk hidup dalam kepura-puraan. Artis Hollywood mana yang mampu berakting tanpa dibayar selama itu? Canda Robby pada dirinya sendiri.

Tapi Robby tetap memendam perasaannya sebagai Robby. Sementara Nina mulai tidak bisa menahan pertanyaan yang memutar di benaknya. Setelah di akhir tahun ketiga, dia ingin tahu alasan sebenarnya Bobby jadi suka makan pizza, suka menyanyi, dan yang paling terbaru: Bobby kepergok Nina sedang memainkan gitar di kantin kampus saat sedang menungguinya selesai kuliah. Bobby berkilah, tapi Nina yang mengerti musik, tahu apa yang didengar dan dilihatnya.

***

Tepat empat tahun, Bobby kembali ke tanah air. Untuk pertama kali, akhirnya Robby akan menemui Nina di restoran tempat mereka biasa makan. Bobby tak menyangka setelah empat tahun, Nina nyaris tidak berubah penampilannya. Hatinya pun. Setidaknya itu yang ia tahu.
“Halo, apa kabar?” sapa Bobby.

“Apa kabar? I’m fine. You are not.” Nada suara Nina meninggi, kali ini ia betul-betul butuh penjelasan. Bobby kaget, seolah bertanya “Ada apa?”

“Sejak kapan kamu bisa main gitar dan suka pizza? Explain it, slowly.” Bobby kaget bukan kepalang. Ia bahkan belum sempat duduk.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.