Sepenggal Cerita untuk Pelupa yang Terluka

Rumah Sejuta Martabak Mars, So Far Away from Earth



Banyak orang jadi emosi gegara habis bikin janji sama seseorang tapi nggak bisa menepati karena lupa. Marah, menyesal lalu mengutuk diri sendiri karena kecerobohannya. Kesibukan bikin kita jadi nggak bisa fokus dan gampang lupa, bahkan untuk sesuatu yang baru semenit lalu kita pikirkan. Apalagi janji yang udah berhari-hari diucapkan. Apalagi janji yang udah berbulan-bulan diucapkan. Apalagi, apalagi…

Tapi sebenarnya, lupa itu mukjizat. Bukan penyakit. Sering sekali ada orang yang mengutuk diri dengan bilang, “aduh, aku lupa. Mungkin karena udah tua!” padahal lupa nggak ada hubungannya sama sekali dengan usia. Balita kalo ditanya dua minggu lalu makan siangnya pake apa juga pasti nggak tau. Paling jawab asal-asalan.

Gue nggak pernah habis pikir, gimana jadinya hidup ini ketika nggak ada yang namanya lupa. Gue nggak bisa membayangkan gimana rasanya membayangkan kisah sedih, sedih banget, senang, dan senang banget dalam waktu bersamaan. Tertawa terbahak-bahak sambil menangis sejadi-jadinya. Awkward. Gue tau, sebelum gue pahami itu, Tuhan sudah tau akan ada orang yang mikir ke arah itu. Makanya terciptalah lupa sebagai anugrah yang malah dianggap banyak orang sebagai penyakit.
Lupa jangan dianggap penyakit. Jadikan lupa sebagai senjata.

Ketika kamu tidak berhentinya disakiti oleh mantan yang suka pamer pacar barunya padahal kamu masih sayang, kamu bisa teriak dengan lantang, “AKU BISA LUPAIN KAMU DAN DAPAT YANG LEBIH BAIK!!!” lalu move on. Laki-laki bukan cuma dia. Seperti halnya melupakan, rasa sayang bisa ditumbuhkan lagi pada orang yang berbeda. Semua hanya soal kebiasaan. 

Secara ilmiah, lupa bisa disebabkan banyak hal. Kurang tidur, benturan fisik, obat-obatan terlarang, dan teman-teman sebayanya. Dalam kenyataannya, ada hal yang sudah bertahun-tahun berlalu, tapi masih terbayang dalam ingatan. Tak terlupakan. Ada kalimat yang baru semenit lalu diucapkan, tapi sudah lupa lagi ketika ditanya. Kuncinya ada pada keunikan momen dan keunikan kalimat itu. 

Semakin semuanya biasa saja, semakin besar potensinya untuk dilupakan. Om Bill Gates udah tua. Tapi gue yakin, sampai hari ini doi belum bisa lupa momen ketika doi pertama kali mengenalkan Microsoft Windows ke khalayak ramai. Tapi gue nggak yakin dia masih ingat pembeli perangkatnya yang ke-345, kecuali dia buka lagi arsip di komputernya.

Umumnya, yang serba pertama memang susah untuk dilupakan. Momen serba pertama selalu punya magis. Tapi susah bukan berarti nggak bisa. Yang terpenting adalah kemauan dan usaha. Mau tanpa usaha nggak cukup. Usaha tanpa tujuan juga buat apa?

At least, kamu yang menentukan sendiri. Memperbaiki kesalahan agar nggak terulang besok, atau terkatung-katung memikirkan kesalahan itu tanpa mau mencari solusi dan move on.

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.