Kepada Siapa Tuhan Berpihak?
Aku
bukan pengamat atau pakar telematika seperti Roy Suryo. Bukan penjelajah dunia
seperti Jackie Chan dalam filmnya, Around the World in 80 Days. Bukan ahli
sulap seperti Herry Houdini yang legendaris. Juga bukan pemuka agama yang lebih
populer dari artis seperti mendiang Ustad Jeffry Al-Buchori.
Aku
hanya orang biasa yang dilahirkan dari keluarga sederhana yang nyaris apa
adanya.
Berkali-kali
dari aku menyaksikan dari layar televisi, tayangan-tayangan yang membuatku
bingung dan terus bertanya-tanya apakah ini nyata atau hanya sekadar tipuan optik
berkat kecanggihan teknologi yang sudah mampu membuat hal mustahil jadi nyata.
Di
pagi hari yang harusnya diisi dengan seduhan teh manis dan beberapa potong
roti, malah diselingi berita-berita tidak mengenakkan para petinggi negara,
yang dipenjara, menyelewengkan uang rakyat. Beberapa sudah sudah diadili,
dibuktikan bersalah, dan dipenjara. Sayang, kebanyakan dari mereka hanya malah
hidupnya lebih mewah di balik jeruji besi itu. Kebanyakan dari mereka malah
lebih leluasa setiap kali ingin ke mana-mana padahal mereka masih sedang dalam
masa tahanan. Sementara mereka yang terpaksa bertindak criminal karena tuntutan
ekonomi, malah tak dapat pembelaan apa-apa.
Lalu
ketika pagi beranjak siang, saat istirahat jam makan siang, saat harusnya otak
diberi hiburan agar bisa kembali segar dan melanjutkan kerja setelahnya, malah
dipaksa mendengar berita, bahwa di sana, jutaan orang-orang berpeci dan
berselendang yang susah payah menyerukan kalimat-kalimat perdamaian ke seluruh
penjuru dunia di mana pun mereka berpijak, tapi mereka malah dimusuhi, dituduh
teroris, dituduh pembunuh, dan semua tuduhan tertuju pada mereka hingga
akhirnya mereka harus berakhir dengan cara dibantai. Hingga mereka tak sempat
mengucapkan kebesaran penciptanya di napas terakhirnya.
Pembantaian
anak-anak tak berdosa terus berlangsung, sementara pasokan senjata untuk
pasukan pembantai terus berlanjut.
Di
malam hari, sering pula saat aku sedang duduk santai di teras rumahku, hingga
tak sadar malam sudah sampai di pertengahan, anak-anak muda mulai berdatangan dengan
sejuta “bentuk” mereka. Aktivitas terlarang yang kini malah dilabeli tulisan
legal di negara kita. Sungguh aneh, saat rakyat menjerit, menyerukan kata
keadilan tapi di sisi lain di saat yang sama, mereka malah tidak adil pada diri
mereka sendiri. Mereka menyadari satu hal besar, tapi melupakan satu hal yang
persis ukurannya.
Dengan
malu-malu dan agak takut, aku sempat bertanya dalam hatiku.
Kepada
siapa Tuhan berpihak?