Tentang Cita-cita Masa Kecil



Sama seperti yang lain, di masa kecil gue juga punya cita-cita. Dulu, gue pengin banget jadi polisi. Kala itu, buat gue pekerjaan paling keren hanya ada dua: polisi dan guru. Gue melihat, dua profesi itu adalah pekerjaan yang bikin kita jadi dihormati dan disegani. Seorang guru hanya tinggal masuk ke kelas dan bilang, “Anak-anak, kerjakan tugas di halaman sekian. Kumpul besok!” dan semua murid melakukan perintahnya.
Seorang polisi hanya meniup peluit kecil, mengarahkan pengendara, lalu semua pengendara mengikuti perintahnya.


Buat gue, itu keren.

Makin dewasa, cita-cita itu menjadi terasa sulit itu diwujudkan. Tiba-tiba semakin banyak pilihan. Semakin banyak pekerjaan dan semakin sulit untuk memilih.

Pernah sekali gue bermimpi menjadi superhero seperti yang sering gue liat di televisi. Menyelamatkan kota, membunuh musuh yang kuat, lalu menikah dengan perempuan cantik. Sayangnya gue sadar lebih cepat. Gue sadar kalo yang seperti itu cuma ada di film dan komik.

Akhirnya gue menyadari kalo hidup nggak pernah semudah apa yang kita bayangkan. Hidup nggak pernah nggak sulit. Mau ngupil aja susah. Susah kalo mau pake tangan orang lain. Dan akhirnya semua menjadi susah.

Tapi… susah bukan berarti mustahil. Catat itu.

“Kesempatan nggak pernah datang dua kali.”

Masih ingat ungkapan itu?

Ungkapan itu nggak ada artinya sama sekali. Buat gue, kesempatan selalu datang setiap kita butuh. Hanya saja, kita yang terlalu malas meraihnya. Ketika kita jatuh, kita bisa langsung bangkit ketika kita punya kemauan. Tapi kadang, kita malas melakukannya. Just it!
 
Semakin bertambahnya usia, kita akan cenderung berpikir akan ke mana kita selanjutnya. Akan ke mana kita setelah ini. Dan apa tujuan hidup kita. Sampai akhirnya kita menyadari kalo hidup ini sudah penuh dengan apa yang kita inginkan. Penuh dengan apa yang kita pikirkan. Dan penuh dengan apa yang kita ingin lakukan.

Keinginan gue menjadi seorang polisi masih gue pertahankan paling nggak sampai sebulan setelah lulus SMA. Tapi gue liat, polisi sudah ada di mana-mana. Gue pikir dunia nggak lagi membutuhkan polisi. Lalu setelah itu, cita-cita gue berubah. Gue pengin jadi dokter. Tapi gue langsung sadar, gue nggak bisa. Liat jarum suntik aja gue bisa mandi keringat. Apalagi kalo harus nyuntik orang. Semenit kemudian, gue pengen jadi guru. Lebih mudah kalo gue pikir. Cukup berbicara di hadapan siswa, dan selesai. Nggak perlu menyuntik orang dan meniup peluit. Tapi seketika itu juga gue sadar, bicara sama bokap-nyokap aja gue gagap, gimana berbicara dengan puluhan orang.

Dan sepertinya pilihan terakhir adalah, gue cukup jadi pengangguran. Nggak ada tuntutan apa-apa dari siapa pun. Nggak perlu mandi keringat dan sejenisnya. Tapi itu pilihan yang salah.

Kesimpulannya: impian itu perlu ada. Impian sama dengan harapan. Dan kita harus terus berharap. Karena, untuk apa kita hidup besok jika kita nggak punya harapan untuk hari esok? 

Ketika kita berhenti bermimpi, berhenti berharap, nggak akan ada lagi gunanya kita hidup.
Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.