Tentang Senja


Mega merah di batas cakrawala, hanya sesaat tapi sangat mengagumkan. Dengan pantulan sinar kemerahan di permukaan laut. Dan.. Lihatlah, ombak yang berkejaran menghantam batu karang, mencipta buih-buih putih, lalu mengendus perlahan ke bibir pantai.. Selalu berakhir seperti itu. Oh, dan lihatlah ke arah selatan, camar-camar itu bertengger dengan anggunnya di
tiang-tiang perahu nelayan. Dinaungi cahaya jingga langit senja.. Aku bisa merasakan angin dan aroma asin air laut yang khas berpadu menggelitikku. Ini adalah keindahan, yang ingin kunikmati selamanya. Namun aku tahu pasti, esok semua takkan lagi sama walau langit tetap di sana.
***
Biru milik langit, tapi terkadang langit berubah kelabu.. Seperti siang ini. Aku tahu, langit marah. Aku tahu langit murka. Begitu kelam dan menakutkan, awan hitam menggelayutinya dengan manja.. Dan aku benci itu. Awan hitam itu seperti mengejekku, menertawakan aku yang tengah ketakutan. Aku menutup wajahku dengan tangan, lalu berlari sejauh yang kubisa. Aku tak suka melihat langitku mendung. Aku tak suka langitku menangis. Tidak. Aku berlari. Jauh. Sejauh mungkin. hingga tanpa sadar aku menabrak sesuatu. Aku terjatuh, masih dalam keadaan tangan menutup wajah, aku tersedu. Aku ketakutan. Kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku. Pelan, aku menurunkan tanganku dan membuka mata. Pandanganku buram, samar-samar kulihat wajah panik dari seorang wanita cantik. Aku mendongak, dengan penuh linangan air mata aku menubruk tubuh itu. Tubuh itu mendekapku, erat. Aku semakin tersedu dan mulai mengeluarkan isakan kecil. Sayup-sayup kudengar sebuah suara memanggil namaku dari kejauhan. Kuabaikan. Aku mempererat pelukanku.
“Juni takut, Ma.. langitnya gelap banget..huhuhu,” aku semakin erat memeluk mama. “Ma.. Senja pasti akan datang lagi kan?”
“Tentu saja Sayang.. senja selalu datang, hanya saja kadang dia sembunyi dan Juni enggak bisa lihat. Tapi senja itu setia. Dia selalu ada. Tetap di sana tersenyum pada Juni.”
“Beneran, Ma?” aku melepas dekapan mama kelewat semangat.
“Iya, sayang.. percaya deh sama mama. Walaupun enggak lama, tapi senja pernah ada, dan selalu ada.”
Aku lalu menghapus air mataku dengan kasar. Bangkit. Lalu memandang langit mendung. Aku menantang awan hitam. Dalam hati aku tersenyum penuh kemenangan, “tetap saja di sana, selama yang kau mau. Tapi senjaku akan tetap ada. Di sini.” Di hatiku. Aku tersenyum, dan kembali ke dekapan mama. Terima kasih Tuhan, telah menjadikan wanita berhati malaikat ini mamaku.
***
Di sinilah aku, di atas pasir putih yang halus, menikmati suara deburan ombak yang tenang, di bawah langit senja yang begitu indah. Mega merah di batas cakrawala. Aku tersenyum. Inilah keindahan itu. Lama aku menikmatinya, hingga samar kudengar kumandang adzan dari surau kampung. aku menengadah. Tersenyum pada langit, lalu bangkit. Aku membalikkan badan, melangkahkan kaki kembali ke rumah. Ayah, Mama, dan Bang Rian menantiku berjamaah. Bersujud pada sang Khalik.
Selepas Maghrib, aku duduk bersimpuh, “Ya Rabb, lindungilah orang-orang yang kusayang, dekaplah mereka dalam pelukan kasih sayangMu. Aamiin.”
Aku berbalik, di sebelahku kulihat mama tengah khusyuk melantunkan ayat-ayat suci. Aku kembali duduk, mendengarkan suara indah mama yang menenangkan. Aku menerawang, jauh ke masa di mana ketika pertama kali aku bertemu wanita bermata rembulan ini.
***
“Hai, anak manis enggak boleh nangis.”
“Huhuhu...”
“Kenapa nangis? Kamu nungguin siapa? Kenapa sedirian di sini anak manis?”
“Nungguin bunda..huhuuhu..”
“Emang bundanya ke mana?”
“Abang bilang bunda di sana, di langit. Jauh banget.”
“ Terus ngapain di sini?”
“Abang bilang kalau udah masuk waktu senja dan langitnya cerah, kita bisa lihat warna jingga di sana.. indah banget. Katanya, bunda pernah janji, bunda akan datang jemput aku dan abang saat senja. Tapi udah ratusan senja yang berlalu dan bunda belum juga datang. Huhuhu..”
“Nama kamu siapa?”
“Juni..”
***
Aku memandang ke arah laut lepas. Suara deburan ombak sangat jelas terdengar. Aku menggenggam pasir, semakin erat kugenggam semakin sedikit yang tersisa. Seperti ini kah harapan itu? Semakin aku berharap, semakin ia sulit untuk kujangkau? Sederhana saja, sebenarnya. Aku masih mengharapkan kedatangan bunda, sejak dulu, saat ini, dan mungkin untuk selamanya, jika selamanya itu memang ada. walaupun kini telah ada mama, tapi aku masih selalu menantikan senja. Menantikan bunda. Selalu.
Aku menengadah, memandang langit malam yang gelap. Aku tahu malam ini mendung, tak ada bintang di sana. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Hujan.. Entah sejak kapan aku begitu membenci hujan, mungkin sejak hujan selalu menyembunyikan warna jingga di langit senja. Entahlah..
Tiba-tiba petir menggelegar. Aku bangkit lalu segera berlari kembali ke rumah. Aku tahu, ada yang menertawakanku di saat seperti ini. Aku tahu.. awan hitam itu. Kembali menggelayuti langit. Tapi apa peduliku? Malam tak pernah menghadirkan senja. Aku tidak peduli pada langit malam, tidak.
Aku menarik handle pintu belakang, membuka pintu dengan perlahan, mama sudah menungguku dengan wajah panik. Aku paham apa yang ditakutkan mama, tapi sungguh, kali ini aku baik-baik saja.
“Juni baik-baik aja, ma..”kataku, lalu memeluk mama sekilas dan berlalu dari hadapannya. Selalu seperti itu, pikirku.
***
Camar-camar itu kembali bertengger di tiang perahu nelayan. Mereka saling berceloteh. Bercerita tentang perjalanan mereka hari ini, mungkin. Entahlah. Aku kembali duduk di sini, di pantai tak jauh dari rumah. Kembali menantikan sesuatu yang ku tahu takkan pernah datang. Aku menutup mata. Menghirup udara, saat sebuah tangan mengacak puncak kepalaku. Aku menoleh lalu tersenyum saat tahu siapa yang menghancurkan kunciran rambutku.
“Ngapain di sini, bang?”
“Nemenin kamu,”aku menghela napas lelah. Aku tahu, Bang Rian akan mengatakan sesuatu.
“Kamu harus tau, Juni, bunda..,”benar kan? Aku tahu, aku akan mendengar sesuatu yang sejak dulu disembunyikan Bang Rian yang sebenarnya sedikit banyak sudah kuketahui, “bunda..”ulangnya.
“Bunda enggak akan pernah datang kan? Bunda enggak datang di senja mana pun. Bunda enggak akan pernah jemput kita, iya kan bang?”sambungku, kemudian tersenyum pahit.
“Juni.. kamu harus tahu, kalau bunda mencintai kamu, mencintai abang, mencintai kita, tapi bunda enggak bisa sama-sama kita. Bunda mencintai kita dengan caranya yang berbeda. Bunda selalu memeluk kita, dengan doa. Kamu harus tahu itu, Juni.”
“Tapi, bunda enggak pernah datang bang.. bunda bohong. Bunda ninggalin kita. Bunda enggak sayang sama Juni. Bunda jahat.” Racauku.
“Bunda terpaksa, Juni. Kakek enggak pernah setuju pernikahan bunda dan ayah. Bunda dibawa pergi dengan paksa sama kakek. Dan saat itulah bunda meminta sahabatnya menjaga kita.”
“Tapi, bang..”
“ Sudahlah Juni, tolong maafkan bunda.”
“Abang tau di mana bunda sekarang?”
“Tau, bunda... di sana, Juni.”aku mengikuti arah telunjuk bang Rian, “Bunda sudah tenang, di sisi Tuhan. tapi bunda pernah berjanji kan? Saat senja bunda akan datang. Tersenyum pada kita.” Bang Rian menunjuk langit.
“sejak kapan, bang?”
“baru saja, Juni. Baru saja, bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Sesaat sebelum abang nemenin kamu di sini.”
***
Aku terpaku memandang gambar di tanganku. Potret diri seorang lelaki tampan yang kukenali adalah ayahku, dan dua orang wanita cantik, gambar mama dan... aku membalik foto itu.
... Reyndra, Renata, Jingga..
Pantai Anyer, 18 Juni 1986.
***
Sekarang aku mengerti. Dan takkan ada lagi kata kapan dalam setiap soreku. Kini aku menikmati senja, dengan cara yang berbeda.
...terima kasih, untuk orang-orang yang mencintaiku. Terima kasih telah mau mencintaiku. Terima kasih....
Fin_
Manokwari, 10 Januari 2013, 10:15pm
Risna J --à @risnazz73

Copyright © N Firmansyah
Founder of Artifisial Indonesia.